Dinamika pergulatan di negeri ini terus kita lewati dan nada-nadanya terus berlanjut. Kita tidak pernah tahu ujungnya seperti apa. Siapapun dia pasti terkena imbasnya “termasuk kita yang ada di Pertamina”. Sebagai Pekerja dan bagian dari masyarakat negeri ini, kita hanya berharap ada perubahan yang menuju kepada sebuah harapan. Tentunya harapan menjadi lebih baik.
Gonjang ganjing seputar Dirut Pertamina terjawab sudah. Lepas dari pro kontra yang terjadi di masyarakat, selamat kita ucapkan kepada para Direksi terpilih. Semoga beliau-beliau mampu memegang amanah dan membawa Perusahaan ini menuju WC-NEC. Ini bukan persoalan sederhana mengingat peran Pertamina yang bersifat strategic bagi masyarakat dan negara, khususnya dalam berperan mewujudkan kedaulatan Migas dan ketahanan energi.
Sebagai Direksi yang baru ditunjuk, tentunya banyak PR tertinggal yang harus segera diselesaikan. Mereka tidak bisa menunggu karena bisnis dan persaingan terus berjalan. Mereka harus mampu menjawan ekspektasi Pemerintah, masyarakat dan Pekerja Pertamina. Tantangan ke depan semakin berat. Dan tidaklah elok jika kebijakan dan langkah yang sudah dirintis oleh pendahulu dinisbikan begitu saja, terutama program dan strategi brillian yang sudah dicanangkan. Kearifan dan kalkulasi yang matang sangat diperlukan dari seorang pemimpin. Program yang tidak jelas, terlebih mengandung conflict of interest dan pemborosan (baca : merugikan perusahaan) dari pendahulunya wajib ditinjau ulang. Ini adalah ujian pertama dalam rangka menilai kecakapan dan capability mereka.
Dengan bergantinya kepemimpinan, tentu akan ada perubahan. Perubahan bagi banyak orang adalah sesuatu yang diharapkan atau tidak diharapkan. Tergantung cara pandang, arah dan benefit yang dirasakan. Bagi kita “Pekerja”, setidaknya ada 6 impian agar perubahan ini menjadi sesuatu harapan dan menggairahkan, a.l :
Pertama, kita sangat berharap mendapatkan pemimpin yang kredibel. Pemimpin itu harus memiliki 3 hal utama, yaitu kredibilitas (credibility), daya tarik dan kekuasaan. Kredibilitas menyangkut rasa percaya dan dapat dipercaya melalui pemenuhan kapabilitas (kompetensi) dan pengalaman. Banyak orang menyangsikan, sulit rasanya jika seorang pemimpin tidak memiliki kompetensi dan pengalaman di bidang yang ia pimpin. Kekuasaan juga seringkali dikaitkan dengan kredibilitas, dimana tanpa kredibilitas seseorang akan sulit memimpin atau menggerakan orang lain. Pekerja akan sulit mendengar, kecuali jika pihak yang berbicara memiliki kredibilitas tinggi. Tanpa kredibilitas, perubahan tidak akan pernah berjalan tuntas. Wait & see…
Kedua, kita mendambakan pemimpin yang kuat integritasnya. Integritas berkaitan dengan nilai-nilai (values), konsistensi dan komitmen. Pada era sekarang, integritas menjadi barang langka dan sulit dicari. Seringkali orang yang punya integritas, kalah dengan loyalitas buta. Contohnya, jika kita mau cari orang pintar di perusahaan ini sangat luar biasa banyaknya. Diantara orang pintar tadi jika kita cari orang jujur masih sangat banyak jumlahnya. Yang langka adalah mencari mereka yang punya integritas tinggi “berani menolak untuk menyatakan tidak untuk sebuah perintah yang tidak benar, sekalipun dari atasannya langsung”. Tentunya hal ini disampaikan dengan cara elegan dan dengan solusi. Biasanya, Pemimpin yang lemah integritasnya lebih memilih follower pemuja atasan atau sycophant. Dalam situasi seperti ini, mengakibatkan kualitas keputusan menjadi amburadul dan berisiko terjadi fraud karena tanpa analisa yang cermat/akurat.
Ketiga, penerapan efisiensi secara tepat sasaran. Sekarang ada hal menarik yang sedang berkembang di negeri ini, yaitu himbauan untuk berhemat, seperti pejabat terbang menggunakan kelas ekonomi, konsumsi ditemani ubi rebus, dlsb. Ini sah-sah saja sejauh tidak hanya sekedar pencitraan sesaat. Jika saja beliau-beliau paham, sejatinya hal yang lebih substantive dan segera dilakukan adalah bagaimana menanggulangi kebocoran dan in-efisiensi yang masih terjadi di banyak tempat. Ini jauh lebih besar dan signifikan dampak penghematan yang diperoleh dibanding mengurangi kesejahteraan yang berimplikasi terhadap peningkatan motivasi Pekerja. Jadi, istilah efisiensi harus tepat penggunaannya, seperti “benahi investasi yang dilakukan sehingga memberikan return sesuai target, minimized losses (migas & petrochemical), kelola bond secara baik dan benar peruntukannya, efektif dan efisienkan proses pengadaan sehingga diperoleh the best price dan barang berkualitas serta reliability unit terjaga, benahi cara kerja dan tingkatkan produktivitas, tinggalkan budaya hura-hura seperti gathering dengan biaya yang sangat tidak wajar, dll. Memangkas kesejahteraan memang jauh lebih mudah untuk berhemat dibandingkan upaya menanggulangi kebocoran, tidak perlu kerja keras dan berpikir rumit, hasilnya langsung kelihatan. Pertanyaannya, apa memang seperti itu kualifikasi pemimpin yang kita harapkan.
Keempat, hilangkan silo-silo yang masih terjadi di banyak tempat. Kita sering terjebak dengan pemikiran sektoral dan tidak mau tahu dengan kebutuhan orang lain dan kepentingan yang lebih luas. Ini amat berbahaya dan akan banyak menguras energi dan wasting time. Pemimpin harus mampu menjadi jembatan disini guna menghilangkan sekat yang membatasi jalan pikiran dan cara kerja kita. Soliditas dan hubungan yang harmoni dijajaran Manajemen harus bisa ditampilkan secara wajar. Tanpa rekayasa dan dengan selalu mengedepankan kepentingan Perusahaan melalui sinergi yang terintegrasi. Silo harus segera ditanggulangi dengan tujuan agar masing-masing yang berada dibidangnya dapat memberi sumbangan terhadap tercapainya sasaran penyelesaian masalah yang dihadapi bersama dan bukan sebaliknya dimana masing-masing bidang melakukan langkah atau kebijakan yang malahan menimbulkan distorsi terhadap pencapaian sasaran tersebut. Teamwork juga harus jalan, mulai dari yang paling atas (top level) sampai dengan yang paling bawah. Jangan ada konflik, kecurigaan, merosotnya moral kerja bawahan, tidak berjalannya aturan, tidak bekerjanya program kerja, terjadinya kebocoran disana sini. Semua itu adalah indikasi masih adanya silo dan tidak bekerjanya teamwork.
Kelima, jangan sampai kecurigaan unsur neolib juga terjadi di Perusahaan tercinta ini. Secara sederhana ciri-ciri mazhab neolib diantaranya :
- Selalu menjaga stabilitas makroeonomi dan disiplin anggaran. Misalnya, kalau ada gejolak akan ada pemotongan anggaran subsidi, dll.
- Liberalisasi perdagangan, dengan menyerahkannya ke mekanisme pasar, termasuk kebutuhan pokok dan strategis lainnya. Sekarang kurang liberal apa lagi, semua sudah dibuka.
- Liberalisasi keuangan, seperti masuknya dana jangka pendek yang dianggap menguntungkan karena dapat mendongkrak nilai rupiah.
- Privatisasi, berapa banyak BUMN yang sudah terjadi seperti ini, padahal beberapa perusahaan itu memiliki posisi yang sangat strategis.
So… mengutip dari para pakar dan orang bijak, “sekalipun dia bergaya hidup sederhana atau bertutur kata lembut, tapi terus mendorong diantara 4 pilar tersebut, dia tetaplah neolib”. Kita sangat berharap, bagian ini tidak ada dalam pikiran para pemimpin kita, khususnya yang terkait dengan privatisasi mengingat Pertamina sebagai public utility & strategic. Karena ini adalah amanah UUD 1945 dan pertanggung jawaban kita kepada masyarakat dan bangsa ini.
Keenam, kita berharap mereka yang memimpin perusahaan ini visioner “punya kemampuan melihat dan meraihnya ke depan”. Perusahaan visioner mempunyai kekenyalan dan daya tahan yang kuat serta selalu berhasil bangkit kembali dari kesulitan. Kita harus punya grand strategy yang jelas untuk melakukan quantum leap. Untuk itu dibutuhkan seorang Nahkoda yang handal dan visioner.
Enam impian ini kita harapkan ada pada mereka yang diamanahkan untuk memimpin Pertamina. Disamping punya kemampuan dan kemauan untuk mewujudkan WC-NEC, kita juga berharap mereka mampu menjadi role model sejati dan pemimpin bijak (wise). Semoga…
(* penulis saat ini sedang menyelesaikan program Magister Hukum)