Saya teringat, awal 1993 On the Job Training (OJT) di kilang PT. Arun NGL – Lhokseumawe, Aceh Utara. Rasa bangga yang luar biasa sebagai calon Pekerja di salah satu Perusahaan master piece-nya bangsa ini ”PT Pertamina (PERSERO)” betul-betul saya rasakan saat itu. Terlebih diwaktu malam. Gemerlap kilang Arun dan kompleks perumahannya betul-betul luar biasa. Denyut nadi perekonomian tidak perlu ditanya lagi.
Tahun 2006/2007 saya kembali kesana untuk sebuah pemeriksaan (Producer’s Audit) dengan kawan-kawan dari PT Exon. Ada rasa aneh yang dirasakan. Kemana gemerlap dulu? Suasana perkantoran terasa tidak sesibuk dulu. Jumlah pekerjanya pun terlihat jauh berkurang. Kilang yang awalnya beroperasi dengan 6 train (unit pengolahan), saat itu tinggal hanya 2 train saja. Beberapa Unit kelihatan tidak terawat dan mulai kusam/kumuh. Belum lagi saat keliling di komplek perumahan, kemegahan semakin terasa berkurang.
Sekarang ”tahun 2012”… saya mendengar, yang beroperasi tinggal 1 train saja. Itupun hanya dengan kapasitas 60%. Dari 1200 rumah yang dipersiapkan untuk karyawan Arun NGL, yang terisi hanya 350 rumah saja. Saya belum lagi kesana. Tapi saya bisa rasakan, betapa semakin tenggelamnya gemerlap Arun. Yang ada di benak saya saat ini, ”bagaimana ekonomi masyarakat Lhokseumawe atau Aceh pada umumnya?”. Tidak bisa dipungkiri, ekonomi masyarakat Lhokseumawe – Aceh sangat terbantu dengan adanya Kilang NGL Arun ini.
Saat jayanya kilang Arun NGL bisa menghasilkan 224 kargo LNG. Dapat dibayangkan betapa besarnya devisa yang dihasilkan bagi negara. Sekarang tidak lebih dari 15 kargo (atau hanya 6% saja) yang bisa dihasilkan dari Arun. Bahkan jika tidak dilakukan apa-apa, diperkirakan tahun 2014 bisnis LNG Arun akan selesai. Arun tamat sebagai salah satu penyumbang devisa di negara ini.
Bukan hanya Arun yang tamat. Industri lainnya yang dipasok gas nya dari Kilang Arun NGL seperti PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM), PT. AAF (Asean Aceh Fertilizer) dan PT. Kertas Kraft Aceh (KKA) juga akan berakhir nasibnya. Ribuan orang akan menjadi pengangguran. Belum lagi roda perekonomian lainnya yang juga bergantung dari geliat industri ini. Ratusan ribu bahkan jutaan orang akan terkena dampaknya dari sini.
Yang tidak kalah pentingnya dan lebih mengkhawatirkan disini adalah masalah keamanan. Saya yakin kita semua sangat mafhum akan hal ini. Kita sudah banyak belajar dari sejarah. Masyarakat Aceh memiliki karakter yang cukup spesifik. Dengan keadaan ekonomi masyarakat Aceh yang berada pada titik nadirnya berpotensi memancing konflik baru yang sebelumnya susah payah berhasil diredam dan dibangun kembali oleh Pemerintah dan para tokoh di negeri ini.
Belajar dari sejarah, menarik jika dikutip isi pidato Presiden Direktur PT. Arun NGL ”Iqbal Hasan Saleh” dihadapan seluruh Dekan Fisip se-Indonesia pada … . Beberapa catatan mengemuka dari beliau diantaranya adalah :
- Satu-satunya wilayah yang masih aman pada agresi Belanda II tinggal Aceh. Saat Soekarno & Hatta ditawan Belanda, Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua Pemerintahan Darurat RI pindah dari Bukit Tinggi dan menetap di Aceh untuk melanjutkan perjuangan mengamankan NKRI.
- Untuk memudahkan koordinasi dalam berjuang, Bung Karno membutuhkan pesawat terbang saat itu. Adalah Tgk. Daud Baeureu’eh yang memerintahkan agar seluruh rakyat Aceh mengumpulkan dana untuk membeli dua pesawat Dakota, yang menjadi cikal bakal PT. Garuda Indonesia.
- Radio Rimba Raya tinggal satu-satunya radio amatir yang mengudara setelah RRI Yogyakarta jatuh ke tangan belanda tanggal 19 Desember 1948. Radio inilah yang mematahkan pemberitaan dari pihak Belanda kepada dunia yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.
- Kilang P. Brandan yang fenomenal ”cikal bakalnya Pertamina” saat itu juga bagian dari Aceh, karena sejarah mencatat Langkat dan Tanah Karo masuk wilayah Aceh pada saat itu.
- PT. Arun NGL yang dibangun akhir tahun 1970-an, berkontribusi besar mengamankan kesulitan keuangan negara pada masa itu.
Jelas…! betapa hystorical mencatat pentingnya Aceh bagi negara ini.
Kutipan Sejarah PT. Arun NGL dan Masa Depannya
Tanggal 16 Maret 1974, PT. Arun NGL didirikan dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 19 September 1978 setelah berhasil mengekspor kondensat pertama ke Jepang pada 14 Oktober 1977.
Pembangunan 6 unit pengolahan (train) pencairan gas alam di kilang LNG Arun dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
a) Train 1,2 dan 3 (Arun Project 1) dibangun pada awal tahun 1974 dan selesai pada akhir tahun 1978 oleh Bechtel Inc.
b) Train 4 dan 5 (Arun Project II) dibangun Februari 1982 dan selesai pada akhir tahun 1983 yang dikerjakan oleh Chiyoda.
c) Train 6 (Arun Project III) dibangun pada bulan November 1984 dan selesai pada September 1986 yang dikerjakan oleh Japan Gas Corporation (JGC).
Pada Februari 1987, kilang LPG yang dinamakan Arun LPG Project dibangun dan dikerjakan oleh Japan Gas Corporation (JGC). Kilang LPG ini selesai pada tahun 1989.
Sekarang, dengan pasokan gas yang semakin kecil, PT. Arun NGL akan direvitalisasi menjadi terminal penerimaan dan regasifikasi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG). LNG yang masih berbentuk liquid akan diregasifikasi sehingga berubah menjadi gas. Selanjutnya gas tersebut akan dikirim lewat pipa ke Customer, seperti PT. PIM, PT. AAF dan PT. KKA, termasuk untuk pembangkit listrik dan industri di Medan.
Sumber LNG akan didatangkan dari luar Aceh. Lalu ditampung di tanki penampungan yang sudah dimodifikasi yang rencananya lima tanki dengan kapasitas 127.000 m3/tanki.
Penutup
Kita berharap ada dukungan kuat dari Pemerintah untuk membangkitkan Arun. Jangan hanya pihak asing yang dikuatkan yang hanya membuat semakin jauhnya kedaulatan migas dari negeri ini dan berdampak terhadap pelemahan ekonomi bangsa.
Sebagai contoh adalah pemanfaatan gas Tangguh – Papua yang dibangun oleh BP dengan kapasitas 7,5 juta Ton. Produknya diekspor ke China, Korea, Jepang dan AS dengan harga sangat murah. Padahal Pemerintah sangat paham bahwa PLN dan kalangan industri sangat membutuhkan gas. Menurut pengamat perminyakan ”Kurtubi” dalam tulisannya di Media Indonesia, PLN rugi Rp 37 Trilyun hanya dalam tempo 2 tahun karena kekurangan gas. Dengan menjual murah ke China, potensi kerugian sekitar Rp 30 Trilyun per-tahun (atau Rp 600 Trilyun selama kontrak 20 tahun).
Bisa jadi pembangunan Kilang LNG Apung dari Lapangan Gas Abadi, Blok Masela di lepas pantai laut Arafura oleh Inpex Corporation asal Jepang (kapasitas 4,5 juta ton per-tahun LNG dan 130.000 barel per-hari Kondensat) akan bernasib seperti itu. Mengingat produknya langsung dikirim ke pembeli mengunakan kapal tanki LPG.
Untuk Arun, langkah cepat harus dilakukan oleh Pemerintah dan Pertamina. Selain sebagai terminal penerimaan dan Regasifikasi LNG, beberapa potensi yang bisa dikedepankan untuk lokasi Kilang Arun ke depan a.l :
- Membangun PLTG dengan kapasitas lebih dari 200 MW. Dengan ini dapat memasok kebutuhan seluruh Aceh yang hanya membutuhkan 185 MW, sehingga ada potensi untuk disalurkan ke luar Aceh ”seperti Medan”.
- Membangun Kilang BBM dengan kapasitas 300 MBCD di atas lahan seluas 430 Ha. Disini tidak lagi memerlukan perijinan lahan yang selama ini sering jadi kendala bagi Pertamina/Pemerintah dan didukung adanya fasilitas lain seperti dermaga untuk tanker ukuran besar.
Kelebihan lainnya yang dimiliki lokasi ini, insyaAllah tanah disini memiliki ketahanan gempa sampai dengan 9,9 skala ricghter seperti yang pernah terjadi saat itu.
Mudah-mudahan melalui rencana dan realisasi nyata, kejayaan Arun dapat dibangkitkan kembali. Semoga Pemerintah menyadari hal tersebut bahwa ini adalah tugas mulia, “bukan saja untuk masyarakat Aceh, tapi untuk bangsa ini dalam rangka menjaga keutuhan NKRI”. (* penulis saat ini sedang menyelesaikan program Magister Hukum)
1 comment
Mudah-mudahan Arun bisa jaya dengan hasil kerja keras kita dan orang Indonesia bisa mencintai komplek PT. Arun ini,,,, Dan semoga Allah mendukung orang yang bekerja keras seperti kita ini ,,,, Tetap berusaha…