Adagium yang menyesatkan… “mendapatkan yang haram saja susah – apalagi yang halal“. Kalimat tersebut sering mengitari benak kita, lingkungan disekitar kita, merambah ke dalam rumah-rumah, bahkan menyelusup ke dalam sanubari.
Sering kita terhenyak dengan berita di media, yang seolah-olah mulai dari anak kecil sampai orang yang tua bongkotan pun melakukannya. Sama sekali tidak mengenal kasta. Mulai dari kasus contek menyontek, mengambil uang teman secara diam-diam dilevel kanak-kanak sampai dengan white colar crime dan kasus korupsi kelas kakap. Seolah-olah ini sudah menjadi konsumsi harian yang sayang untuk dilewatkan.
Pertanyaan besarnya, apakah memang seperti itu dunia kita saat ini…? Apakah tindakan kecurangan (fraud) sebegitu merajalelanya disekitar kita…?
Besarnya fulus yang diambil sangat tergantung dengan level jabatan dan kewenangan yang dimiliki. Semakin tinggi levelnya, biasanya semakin besar nilai yang diambil. Dari berbagai referensi, frekuensi di level atas memang tidak sebanyak di level Pekerja. Namun nilainya menjadi luar biasa saat kasusnya ditemukan.
Dari situs Korupedia (www.korupedia.org) kita dapat merasakan keprihatinan berbagai pihak : “Sikap dan perilaku koruptor memang sangat keterlaluan dan begitu memuakkan. Bahkan hebatnya, para pencuri dan penjarah itu acap berbangga diri, muncul dan bicara di berbagai media. Mereka tak malu tampil di radio, koran dan televisi, mempermainkan logika dan hukum. Juga menjungkirbalikkan akal sehat. Sadar atau tidak, sebagian media massa memang telah memberi panggung “pencucian dosa” bagi para koruptor itu. Sebuah pernyataan yang tepat, bisa dilihat bagaimana wajah-wajah “seperti tanpa dosa” ketika mereka tampil di televisi, seakan tidak ada kesalahan yang dilakukannya. Padahal ratusan juta, milyaran, bahkan sampai triliunan rupiah uang negara yang notabene merupakan uang rakyat “ditilepnya” melalui berbagai proses “sim salabim”.
Idealnya kita bangga saat orang lain membahas atau membicarakan kita dalam sebuah forum, baik lokal, nasional apalagi internasional. Tapi kebanggaan sebagai bangsa yang besar sempat hilang sewaktu saya dan seorang teman mengikuti sebuah The Inaugural Fraud & Corruption Asia Pacific Summit pada Juni 2012 lalu di Hongkong. Bayangkan… beberapa pemateri yang menyinggung tentang kasus-kasus fraud/korupsi, selalu yang menjadi contoh mereka adalah negara kita. Seolah-olah ini sudah menjadi status yang “prestisius” dan melekat menjadi budaya masyarakat kita. Malu… malu… malu rasanya. Bayangkan kata mereka. “setiap urusan di Indonesia tidak ada yang tidak pakai duit (dalam bentuk suap, gratifikasi, dlsb)”.
Motivasi Melakukan Fraud
Pada umumnya fraud terjadi karena tiga hal yang mendasarinya secara bersama, yaitu:
- Insentif atau tekanan untuk melakukan fraud
- Peluang untuk melakukan fraud
- Sikap atau rasionalisasi untuk membenarkan tindakan fraud.
Pressure, incentive atau motivasi pada seseorang akan membuat mereka mencari kesempatan melakukan fraud. Beberapa contoh pressure dapat timbul karena tekanan dari atasan atau lingkungan, masalah keuangan pribadi, tekanan dari istri atau anak, sifat-sifat buruk seperti berjudi, narkoba, main perempuan “punya simpanan”, berhutang berlebihan serta tenggat waktu dan target kerja yang tidak realistis.
Sebagai contoh, Pekerja di level pelaksana seringkali tidak berkutik jika dihadapkan dengan tekanan dari atasannya. Ketidak berdayaan karena adanya pressure ini sering juga dijadikan sebagai aspek pembenaran. “Setoran ke atas harus ada, bagi-bagi dengan sesama juga iya, tapi mungkin lebih banyak lagi masuk ke kantong sendiri” ucap berbagai pihak. Masing-masing kita bisa merasakannya sendiri. Makanya kalau saya pribadi lebih senang memiliki Follower yang mampu mengkritisi atasannya jika atasan tersebut tidak benar (silahkan tanya kepada semua orang yang pernah jadi anggota saya). Itulah sebetulnya Follower atau lebih tepatnya istilah saya “teman sejati”. Yang mampu mengingatkan kita supaya tidak terjerumus ke lubang yang tidak benar. Saya hanya menghimbau, jadilah Follower yang berkarakter. Memiliki prinsip kebenaran. Tidak hanya yes-men saja. Mampu mengatakan TIDAK untuk sebuah perintah yang tidak benar. Tapi bukan berarti menolak kerjaan lho…, he he he…
Jika di level Follower atau grass root kompak dan berdiri tegar di atas prinsip kebenaran, rasa-rasanya mereka yang punya kekuasaan juga tidak akan berani semena-mena. Kuncinya adalah soliditas dan tinggalkan mereka yang menjadi penjilat.
Sering kali tanpa disadari, setelah jadi kasus, yang selalu kena di level grass root. Sementara atasannya lolos karena tidak ada jejak yang ditinggalkannya. Semua bukti mengarah ke bawahan. Mau apa kalau kejadiannya berakhir seperti ini. Orang lain hanya bilang “kasihan”, sementara istri, anak-anak dan keluarga kita lainnya merana dan menanggung aib akibat ulah kita.
Opportunity atau peluang/kesempatan biasanya muncul sebagai akibat lemahnya pengendalian internal di organisasi tersebut. Terbukanya kesempatan ini juga dapat menggoda individu atau kelompok yang sebelumnya tidak memiliki motif untuk melakukan fraud.
Bagaimana peluang di tempat kita…? Waw… saya ndak berani berkomentar. Silahkan rasakan sendiri. Bang Napi bilang “waspadalah… waspadalah… kejahatan selalu ada jika ada kesempatan”. Sulit bagi siapapun untuk meredamnya jika kesempatan itu terbuka. Baik secara system, maupun dari sikap para Pejabat yang memiliki otorisasi dan kewenangan dalam hal pengawasan. Jadi salah satu kuncinya adalah aspek pengawasan.
Ada juga yang berseloroh. “Lho kan ada SPI (sekarang IA) yang bertugas untuk melakukan pengawasan”? Tapi dijawab oleh sebagian pihak, “IA sekarang sudah berbeda”. “Dengan metoda Risk Based Audit (RBA) yang dijalankan oleh IA, justru banyak yang memanfaatkan kesempatan ini. Karena IA sekarang hanya fokus pada risiko dan kelemahan internal control. Sehingga temuannya hanya berkutat untuk perbaikan Sistim dan Tata Kerja (S&TK), tanpa sempat lagi melihat adanya penyimpangan atau fraud dibalik setiap kelemahan yang ada” kata sebagian lainnya lagi.
Padahal kewibawaan Auditor ada disini “saat dia memiliki temuan penyimpangan yang merugikan Perusahaan dan menyelamatkan rupiah dalam jumlah besar yang berhasil di-tilep oleh oknum pelaku”, disamping kemampuan assurance & konsultasi-nya yang didukung dengan penguasaan terhadap proses bisnis.
Ini sebuah early warning menurut saya. Harus disikapi positif… Kadang jika direnungkan ada benarnya juga. RBA ini hanya cocok dengan syarat, “sistimnya harus bagus dan orang-orang yang menjalankan kegiatan operasional Malaikat semua”, hehe…
Tidak dipungkiri bahwa RBA merupakan best practices bagi IA. Auditor (khususnya Pengawas Tim dan Ketua Tim Audit) harus pintar-pintar mensiasatinya. Sesuaikan dengan kondisi yang ada di Perusahaan. Modifikasi RBA sesuai dengan kebutuhan. Kitalah yang paling tahu… Jangan berharap terlalu banyak dengan orang luar!
Kembali kesini, berarti peluang untuk terjadinya penyimpangan atau fraud harus mampu di-detect secara baik. Kemudian pikirkan mitigasinya. Seandainya masih terjadi, harus ada tindakan represif bagi pelakunya sehingga ada efek jera bagi yang lainnya. Seringkali yang terjadi adalah kata permisif dan perlindungan untuk diberikan pengampunan bagi pelakunya. Ini jelas perbuatan baik. Tapi sangat berbahaya…!!! Lho, emangnya kenapa? Ya jelas donk…! Sekarang pilihan ada di kita. Kita mau selamatkan yang satu orang atau menyelamatkan kepentingan yang lebih besar (Perusahaan). Jangan biarkan virus fraudster menyebar kemana-mana. Ini adalah penyakit menular yang sangat berbahaya.
Rationalization terjadi karena seseorang mencari pembenaran atas aktifitasnya yang mengandung fraud. Pada umumnya para pelaku fraud meyakini atau merasa bahwa tindakannya bukan merupakan suatu kecurangan tetapi menganggap apa yang dilakukan memang merupakan haknya. Bahkan kadang pelaku merasa telah berjasa karena telah berbuat banyak untuk organisasi/ Perusahaan sehingga wajar untuk mengambil sebagian hak-nya.
Dalam beberapa kasus lainnya terdapat pula kondisi dimana pelaku tergoda untuk melakukan fraud karena merasa rekan kerjanya juga melakukan hal yang sama dan tidak menerima sanksi atas tindakan fraud tersebut. Atau merasa diperlakukan tidak adil oleh atasannya, sehingga meng-klaim tindakan penyimpangan dan menguntungkan adalah kompensasi cara yang paling tepat sebagai penggantinya.
Kita bisa merasakannya. Apakah hal ini terjadi pada kita atau orang-orang sekitar kita? Jika “iya”, ayo segera sadari. Itu hanya hasutan Preman (eh eh eh… maksud saya Setan) sehingga mengalahkan logika sehat kita. Tanya nurani yang paling dalam, kita akan temukan kebenaran disitu.
Penutup
Secara umum, timbulnya fraud merupakan gabungan antara motivasi dan kesempatan. Motivasi muncul karena adanya dorongan kebutuhan, sedangkan kesempatan berasal dari lemahnya pengendalian intern dari lingkungan, yang memberikan kesempatan terjadinya fraud. Semakin besar dorongan kebutuhan ekonomi seseorang yang berada dalam lingkungan pengendalian yang lemah, maka semakin kuat motivasinya untuk melakukan fraud.
Rasa-rasanya, Perusahaan sudah terlalu baik dengan kita. Apalagi bagi mereka yang ada di Anak Perusahaan (AP) – Hulu. Tingkat kesejahteraan kita sudah lebih dari cukup. Jadi… jika masih ada yang mau bermain-main dan mengambil kesempatan untuk keuntungan sendiri dan kelompoknya, kita harus berani memberikan sanksi yang tegas. Mereka (fraudster & koruptor) tega mengambil uang kita (red. Uang Perusahaan) – kita juga harus tega. Kasihan Perusahaan dan rakyat sebagai pemilik resminya. Kita hanya dititipi, dan ini adalah amanah mulia yang harus kita emban bersama.
Sekarang… coba bayangkan, bagaimana gembira dan pongahnya para pelaku Fraudster saat mereka berhasil melakukan tindakan kecurangan, memperdaya banyak orang dan memperoleh keuntungan menurut versinya mereka…!!!??? Jadi… pedulilah! Jangan biarkan fraud (tindakan kecurangan) merajalela disekitar kita. Mari kita jaga Perusahaan ini untuk terus maju, tumbuh dan berkembang.
~11 Sept 2012