(Oleh : Firdaus Bambang Saputra – LK&KK UP II)
Rasa kebangsaan kita terus diuji. Harkat dan martabat bangsa ini sedang dipertaruhkan. Dan sayangnya masih banyak diantara kita ”pekerja” tidak menyadari itu semua. Kita hanya disibukkan dengan memikirkan kepentingan dan keuntungan kita masing-masing. Justru seringkali orang lain lebih tahu dan peduli tentang semua ini. Mana rasa nasionalisme kita …?! Akankah kita mampu melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Migas No. 22 tahun 2001. Memang kalau dipikir bukan tugas kita semata, tapi tugas setiap orang yang mengaku masih memiliki kepedulian terhadap bangsa ini. Cuma masalahnya… kita kan ”pekerja” ada didalamnya, sebagai praktisi yang langsung menikmati apapun yang terjadi dengan kegiatan Migas itu sendiri.
Tapi sudahlah… setidaknya masih lebih baik terlambat dan segera menyadari daripada terus terjerumus ”tanpa mampu berbuat sedikitpun”.
Penulis masih ingat, pada tanggal 21 September 2002 pernah terlibat ikut menandatangani ”penolakan UU Migas 22/2001 untuk segera dilakukan amandemen pada waktu itu”, yang langsung dikomandoi oleh Prof. Dr. H. Amien Rais (Ketua MPR RI saat itu). Bahkan jauh sebelumnya, 2 rekan kita Sdr. Otto G.D dan Faisal Y. turun langsung melakukan aksi di lapangan (demo) bersama masyarakat Peduli Migas untuk ”menolak RUU Migas”. Dan Desember 2002, saudara kita ”SPPSI” melayangkan Judicial Review ke Mahkamah Agung. Namun sampai saat ini, UU tersebut masih anteng aja ”tidak ada sedikitpun yang berani mengusiknya”. Beberapa kalangan DPR pun yang sempat berjanji untuk membantu memuluskan amandemen ini, tetap saja tidak bergeming. Walaupun dengan banyaknya konsekwensi yang sudah kita hadapi dan rasakan.
Seperti yang dilansir oleh rekan kita ”Sdr. Otto G.D”, dengan diberlakukannya UU Migas, Pertamina tidak dapat menekan harga beli crude. Dimana Contractor Production Sharing (yang dulunya bagian dari Pertamina) tidak lagi memikirkan tentang hal-hal yang menambah manufacturing cost pada sektor hilir (karena sudah diliberalisasi). Dan sekarang para KPS yang berada dibawah koordinasi (binaan) BP Migas lebih merangkap sebagai spekulan dengan mengedepankan prinsip supply & demand. Mereka tekan biaya operasi, misalnya dengan hanya melakukan produksi 60% s/d 70% ”yang penting kewajiban terpenuhi”, untuk apa produksi sampai 100%, yang penting untung besar. Sebelum UU Migas berlaku ”sewaktu kebijakan masih satu atap”, pasokan produksi KPS ke Unit-Unit (UP’s) berjalan lancar, bahkan hanya sanggup diserap 70% s/d 80% nya saja.
Dengan diberlakukannya UU Migas, spekulan ”broker Migas” semakin merajalela. Termasuk mafia Migas ”baik di Pemerintahan maupun kalangan internal sendiri”. Untuk itu satu hal yang harus menjadi target kita bersama ”UU Migas harus diamandemen atau memberikan payung previlage kepada PT. Pertamina (Persero)”.
KILAS BALIK
Diberlakukannya UU Migas No. 22/2001 pada tanggal 23 Desember 2001 lalu, otomatis mengakhiri UU No. 8/1971. Dengan demikian, tamatlah riwayat Pertamina sebagai titik sentral pengembangan industri minyak nasional. Selama lebih dari tiga dasawarsa, BUMN ini berperan besar dalam membangun industri minyak nasional yang manfaatnya dirasakan seluruh lapisan masyarakat (walaupun sekarang masih, namun sudah banyak dikurangi haknya).
Pada era 1970-an dan 1980-an sebagian besar masyarakat negeri ini, terutama yang tinggal jauh dari keramaian kota besar, baik petani, guru SD, petugas puskesmas maupun pedagang kecil di pasar-pasar kumuh, sangat akrab dengan istilah Inpres (Instruksi Presiden). Ada ratusan ribu gedung sekolah yang dibangun berikut pengangkatan guru-guru inpres-nya guna meratakan kesempatan belajar anak negeri. Begitu pula ada puluhan ribu gedung puskesmas dan pengangkatan doktor inpres diseluruh tanah air untuk meningkatkan kesehatan penduduk si pedesaan dan kota-kota terpencil. Juga ribuan pasar inpres dibangun untuk membantu kelancaran pengusaha, pedagang gurem, kecil dan menengah mencari nafkah.
Hingga kini mungkin tidak banyak kalangan masyarakat yang mengetahui bahwa program-program inpres tersebut, seluruhnya atau sebagian, dibiayai dengan minyak.
Dana lebih dari US$ 200 miliar (sekitar 1800 triliun dengan kurs Rp 9000 per dolar AS) yang didapat dari hasil kerja Pertamina – sebagai pelaksana kuasa usaha pertambangan berdasarkan UU No. 44/1960 dan sebagai BUMN yang didirikan atas UU No. 8/1971 sesungguhnya merupakan salah satu bukti dari manfaat yang telah diberikan Pertamina kepada masyarakat.
Penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bagi kebutuhan masyarakat selama lebih dari 30 tahun dan dapat dipenuhi nyaris tanpa gangguan, kecuali belakangan ini dengan adanya penyelundupan dan pengoplosan. Hasil dari kegiatan Pertamina selama ini telah mampu memberikan kontribusi dominan bagi penerimaan devisa nasional dan penerimaan negara dalam APBN setiap tahun.
Bahkan pada tahun 1981/1982 lebih dari 80% devisa nasional dan lebih dari 70% penerimaan dalam negeri di APBN berasal dari Migas. Ingat, semua itu merupakan buah dari sistem perminyakan nasional yang dikembangkan atas dasar pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan (3), UU No. 44/1960 dan UU No. 8/1971. Sistem ini tentu tidak mungkin mendatangkan hasil demikian besar kalau sekiranya sistemnya salah.
Kekurangan sistem ini, jelas ada. Inilah yang seharusnya diupayakan disempurnakan dengan mengamandemen UU No. 8/1971, bukan dengan mencabutnya. Alasan mencabut UU No. 8/1971 agar fungsi wasit dan pemain atau fungsi pemerintah/regulator dan kegiatan usaha tidak menjadi satu merupakan alasan yang sangat naif.
Pasalnya pengelolaan SDA Migas tidaklah sesederhana seperti permainan sepak bola, dimana ”wasit” mutlak terpisah dengan ”pemain”. Kesan adanya fungsi rangkap pada diri Pertamina sebenarnya bukan karena UU No. 8/1971 tetapi lebih karena adanya peraturan-peraturan lain seperti Keppres dan Kepmen.
Mestinya Keppres dan Kepmen inilah yang harusnya dicabut, seperti Keppres mengenai pembelian/pengadaan barang dan jasa dengan nilai tertentu yang harus melewati Sekneg, Menko. Ekuin dsb sedangkan fungsi pengelolaan KPS (Kontrak Production Sharing / bagi hasil) oleh BUMN merupakan cara pragmatis dan rasional agar pendapatan negara bisa optimal, sebab kontrol biaya KPS dan penjualan Migas bagi pemerintah merupakan pekerjaan bisnis bukan pekerjaan pemerintahan.
Kalau kegiatan Pertamina seperti ini dituduh sebagai rangkapan fungsi Pemerintah dan kegiatan usaha, sebenarnya tidaklah urgen diributkan apalagi dipakai sebagai alasan guna membubarkan BUMN ini. Sebab selama ini toh telah terbukti sistem tersebut menghasilkan manfaat yang besar bagi negara.
Bukankah dengan alasan yang sama perusahaan minyak swasta di AS dan negara Organisasi Kerjasama Ekonomi Pembangunan (OECD) hanya diberikan tugas sebagai pemerintah, memungut pajak BBM (bukan pajak penjualan) dari setiap liter BBM yang mereka jual ke konsumen?
Disamping itu, BUMN Malaysia (Petronas) hingga saat ini masih tetap melaksanakan ”fungsi rangkap” dengan melakukan kontrol terhadap semua investor/KPS di Malaysia. Namun, tidak ada orang Malaysia yang bergenit ria menggugat ”rangkapan” fungsi tersebut.
Soalnya dengan sistem sekarang terbukti Petronas telah memberikan manfaat besar bagi Malaysia. So, Why we create new problem for nothing?
Ironisnya di negeri dimana setiap orang nyaris berupaya memperoleh rezeki dari setiap tambahan kewenangan, UU Migas justru mengumpulkan kuasa negara pada satu tangan (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral / ESDM) sekaligus sebagai pengawas, pembina, regulator dan sebagai pelaku usaha.
Menteri ESDM menjadi pihak penanda tangan kontrak kerja sama di sektor hulu dengan pihak investor, sementara badan pelaksana tidak diberikan kuasa pertambangan, sehingga tidak punya kuasa atas wilayah kerja investor. Disamping itu menteri ESDM juga merupakan pihak yang memberikan persetujuan atas pengembangan lapangan yang pertama. Dimana persetujuan atas KPS yang menurut UU No. 44/1960 dan UU No. 8/1971 berada di tangan Presiden.
UU Migas memberikan kekuasaan langsung dengan memberikan konsesi bagi swasta nasional dan asing untuk mengeksploitasi kekayaan negara. Padahal, hak konsesi seharusnya berada di tangan negara melalui BUMN, sesuai amanat undang-undang.
DAMPAK YANG TIMBUL
Dengan demikian sebenarnya UU Migas ini sangat potensial menimbulkan permasalahan baru yang sebelumnya tidak pernah terjadi dalam sistem perminyakan Nasional. Dengan dicabutnya UU No. 44/1960 dan UU No. 8/1971, Pertamina tidak lagi memegang hak kuasa usaha pertambangan, bahkan keberadaan Pertamina otomatis lenyap (kasarnya bisa dibilang seperti itu).
Akibat yang mungkin timbul dari pencabutan kedua UU tersebut pada saat itu adalah terjadinya default dan timbulnya tuntutan pihak ketiga karena adanya peluang dituduh sebagai pihak yang telah ”membatalkan” secara sepihak semua kontrak / perjanjian internasional yang telah dibuat Pertamina dengan investor dan lembaga keuangan internasional.
Pertamina terbentuk dengan peraturan pemerintah, maka Pertamina lama wajib melaksanakan usaha Migas (termasuk pemenuhan BBM) serta mengatur dan mengelola kekayaan, pekerja, dlsb.
Dampak lain di sektor hilir adalah hilangnya peluang pemerintah memperoleh Laba Bersih Minyak (LBM) pada tahun harga BBM dalam negeri sudah menyamai harga pasar, yakni pada saat masa transisi berakhir.
Dengan sistem lama, kalau harga jual BBM sama dengan harga pasar, LBM yang merupakan selisih antara antara harga jual dan biaya pokok BBM, 100% masuk ke negara (APBN). Kemudian sistem ini dihilangkan, otomatis selisih antara harga pasar dan biaya BBM tidak lagi menjadi LBM karena keuntungan tersebut masuk ke kantong para pelaku pasar yang 50% nya (angka perkiraan) terdiri dari para pemain asing/swasta.
Ini merupakan jumlah yang sangat besar apalagi tahun 2005 dan tahun-tahun berikutnya Pemerintah menghadapi beban pembayaran obligasi yang diperkirakan akan menggunung. Sedangkan pasal-pasal dalam UU Migas yang menyangkut investasi di sektor hulu lebih banyak mengundang uncertainty (ketidakpastian) baru.
Pasalnya, pada setiap tahapan eksplorasi yang diketahui mengandung resiko sangat tinggi dan belum ada kepastian penerimaan dan produksi, justru oleh UU ini diberi tambahan beban dan uncertainty karena adanya ketentuan pembayaran bea masuk, pungutan atas impor dan cukai, iuran eksplorasi, dsb.
Hal lainnya yang juga patut direnungkan oleh Pemerintah adalah keikutsertaan kita sebagai anggota negara-negara pengekspor minyak (OPEC). Mantan Dirut ”Baihaki Hakim” pernah menyampaikan pada salah satu media ”selama ini kita selalu gagal memenuhi kuota produksi dan sekarang produksi minyak kita malah turun, kurang dari 1 juta barrel per-hari. Jadi sudah tidak relevan lagi Indonesia menjadi anggota OPEC. Kemungkinan Indonesia untuk menggenjot produksi minyaknya dalam memenuhi kuota OPEC amat sangat sulit. Keikut sertaan Indonesia di OPEC juga tidak membawa keuntungan apapun. Sebaliknya hanya menghabiskan dana US$ 2 juta per-tahun sebagai iyuran keanggotaan”. Bukan hanya mantan Dirut kita, tapi juga Ginanjar Kartasasmita menyatakan hal yang sama kata Otto G.D lagi. Bukti lainnnya, Amerika Serikat yang bukan anggota OPEC ternyata bisa membeli minyak mentah (crude) ke Middle East hanya US$ 10 per-barrel. Jadi kita dapat melakukan pembelian melalui G to G.
UU MIGAS KINI
JIKA menengok ke belakang, UU Migas adalah salah satu undang-undang di bidang ekonomi yang cukup alot dibahas di DPR. Rancangan UU Migas untuk mengganti UU Nomor 8 Tahun 1971 mengalami tarik ulur sejak zaman Orde Baru, hingga akhirnya disetujui menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR tanggal 23 Oktober 2001 sebagai lembaran baru bagi dunia migas di Indonesia. Pada waktu itu, meskipun RUU Migas disetujui DPR, diwarnai pengajuan minderheidsnota (catatan notula) 13 anggota DPR dari berbagai fraksi, yang diwakili anggota DPR kala itu. Alasan kelompok yang mengajukan minderheidsnota, RUU ini melemahkan strategi migas Indonesia sehingga dapat merugikan bangsa dan negara di masa sekarang dan masa mendatang. Selain itu, RUU Migas bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
UU Migas memang membawa perubahan besar dalam sektor migas, baik sektor hulu maupun hilir. Pergantian undang-undang tersebut telah mengubah system monopoli ke arah sistem kompetisi. Perubahan penting yang diciptakan UU Migas adalah membebaskan harga bahan bakar minyak (BBM) dari subsidi pemerintah. Masyarakat luas, terutama yang kurang memiliki daya beli dipastikan akan merasakan beban kenaikan harga BBM meskipun pemerintah menjamin menggantikannya dengan subsidi pendidikan dan kesehatan.
Meskipun demikian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menegaskan, program iberalisasi BBM secara penuh di Indonesia baru dapat terlaksana paling cepat pada tahun 2010 atau mundur dari perkiraan semula tahun 2005. Mundurnya era liberalisasi BBM disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk membeli BBM jika pemerintah sudah melepas harga BBM sesuai pasar internasional. Saat ini hingga tahun 2010 diperkirakan sebagian kelompok masyarakat masih memiliki daya beli (purchasing power ability) yang relatif rendah. Artinya, kebijakan harga untuk beberapa jenis BBM tetap diatur oleh pemerintah sesuai kemampuan masyarakat.
Yang perlu diingat, tanggal 23 November 2005 bukan merupakan batas waktu yang diamanatkan UU Migas untuk penyerahan harga BBM dan gas bumi sepenuhnya pada mekanisme pasar. Namun, batas waktu itu adalah akhir tugas Pertamina untuk melaksanakan penyediaan dan pelayanan BBM untuk keperluan dalam negeri sebagai PSO.
Kegiatan hulu migas juga mengalami perubahan drastis akibat UU Migas. Antara lain pembentukan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) yang mengganti posisi Pertamina dalam membuat kontrak dengan perusahaan kontrak bagi hasil migas.
Beberapa pihak berpendapat, sejak Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1960 mengenai Pertambangan Migas dan UU No 8 Tahun1971 mengenai Pertamina digantikan UU Migas, iklim investasi migas dinilai menjadi tidak kondusif. UU Migas telah memberi beban bagi investor saat mencari cadangan baru (kegiatan eksplorasi) karena sudah diwajibkan membayar berbagai pajak dan pungutan selama periode eksplorasi.
Namun beberapa pihak lainnya berpendapat, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tetap memberlakukan Undang-undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, tak merisaukan PT Pertamina. Pemerintah masih memberikan “perlindungan” terhadap PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu keistimewaan itu adalah diberikannya persentase bagi hasil yang lebih besar dibandingkan kontraktor bagi hasil. Untuk wilayah kerja yang dikelola Pertamina, porsi bagi hasilnya 60 persen untuk pemerintah dan 40 persen untuk Pertamina. Sementara bagi hasil dengan KPS (kontraktor Production Sharing), maksimum 70 persen untuk pemerintah dan 30 persen untuk KPS, itu pun di wilayah migas yang nilai keekonominannya rendah.
Begitu juga di sektor hilir, PT. Pertamina (Persero) masih mendapatkan keistimewaan dari pemerintah meski terbatas. “Pertamina masih diberi keistimewaan termasuk di sektor hilir. Meski untuk sektor hilir tidak terlalu kentara dibandingkan di hulu,” jelas Anggota Komite Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hilir Migas (BPH Migas) pada salah satu media beberapa waktu yang lalu. Salah satu bentuk keistimewaan di sektor hilir yakni, Pertamina masih mendapatkan fee dari pemerintah untuk kegiatan pengolahan dan pendistribusian BBM. “Berapa pun cost yang dikeluarkan Pertamina akan diganti oleh pemerintah,” urainya.
Sekarang, khususnya untuk pengolahan crude menjadi BBM, fee yang diberikan oleh Pemerintah hanya US$ 0.20 per-barel. Padahal kalau dilihat negara tetangga ”Singapura” untuk mengolah BBM, margin yang diperoleh bisa USD 3 hingga USD 4 per barel. Sementara FSPPB dalam salah satu masukannya, terkait dengan program 100 hari Direksi, memperjuangkan perubahan fee pengolahan dan distribusi BBM menjadi US$ 0.95 per-barrel. Nah ini sebetulnya menjadi salah satu agenda yang perlu kita perjuangkan juga secara bersama.
PENUTUP
Ketentuan UU Migas yang baru yang menyatakan hak atas minyak beralih ketangan investor dititik pelabuhan ekspor tidaklah dapat menganulir pelanggaran UU Migas ini terhadap pasal 33 UUD 1945 dimana kuasa pertambangan langsung diberikan Menteri ESDM kepada pihak investor.
Padahal kekayaan alam yang berada di bawah perut bumi menurut UUD 1945 pasal 33 seharusnya dikuasai oleh negara. Berdasarkan catatan di atas dan melihat situasi ekonomi negara yang masih terpuruk, ditambah lagi dengan adanya bencana tsunami yang menimpa masyarakat kita, tentunya kita semua perlu berpikir untuk menyelamatkan asset negara yang menjadi hak masyarakat banyak (rakyat).
Kalau dipikir, keterlanjuran ini sebetulnya terlampau boros karena kita sudah mengeluarkan biaya besar guna suatu tujuan yang tidak jelas hasilnya.
Bulan yang lalu, persisnya tanggal 21 Desember 2004, beberapa rekan kita (dari beberapa SP) melakukan aksi damai bersama MPM (Masyarakat Profesional Madani) dan masyarakat lainnya atas dibacakannya Putusan Judicial Review UU Migas No. 22/2001 oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa catatan yang bisa diperoleh dari pembacaan tersebut a.l :
1. MK menolak gugatan formil dari Pemohon.
2. MK menerima sebagian gugatan material dan menolak sebagian gugatan Pemohon.
3. MK menginstruksikan kepada DPR dan Pemerintah untuk segera mengamandemen sebagian pasal-pasal UU Migas yang bertentangan dengan UUD 1945.
Dari hal tersebut yang dapat disimpulkan adalah ”UU Migas No. 22/2001 tetap diberlakukan dengan beberapa catatan amandemen”. Jelas… ini peluang buat kita semua untuk memberikan masukan kepada DPR tentang amandemen UU Migas, sehingga apa yang menjadi kekhawatiran kita sebagai anak bangsa (bahkan sebagai praktisi perminyakan) dapat disalurkan secara proporsi.
Selaraskan gerak langkah kita dengan masukan yang pernah disampaikan kepada Direksi pada 18 Agustus yang lalu, a.l dengan membentuk Kelompok Kerja yang bertanggung jawab dalam waktu tertentu untuk menyusun kajian-kajian seperti Amandemen UU No. 22/2001 tentang Migas untuk mempertegas fungsi/kedudukan strategis Pertamina sebagai pengelola kegiatan strategis, previlage Pemerintah untuk usaha Hulu berupa konsesi, dlsb.
Sekarang tinggal bagaimana kontribusi kita terhadap negara, perusahaan tercinta ini bahkan masyarakat banyak dan keluarga kita di rumah? Persaingan global sudah di depan hidung!!! Yang sudah terjadi …….. sudahlah. Sekarang bagaimana kita ke depan?? Ayo… tunggu apa lagi … mari kita bergerak!. (fbs)