IPO – (ep. 2)

by firdausbambang

Lebih sebulan ndak nulis. Cukup banyak hal yang berkembang walau ada juga yang jalan ditempat. Seperti suara riuh tentang “10 Desember ceria” yang tak kunjung datang. Juga GI-MI (General Increase dan Merit Increase) yang sudah setahun ndak jelas juntrungannya. “Kapan nich netesnya, kan Pertamina untung” celoteh banyak Pekerja. Oil Company dengan julukan the seven sisters saja merugi, tapi kita masih bisa untung. Ini tentunya anugrah yang luar biasa “melalui prestasi super-team insan Pertamina yang tak kunjung lelah ditengah situasi yang tidak menentu ini”. Barakallah

So… ditunggu saja, karena Dir. SDM yang lama sempat keluarkan signal akan ada kabar baik untuk semuanya terkait ini. Jejak digital beliau beredar luas di Pekerja. Semoga dengan perubahan Manajemen pada 5 Pebruari 2021 lalu tidak membunuh asa Pekerja. Yeaaa… Tinggal menunggu goodwill beliau-beliau. Dan semoga ini juga tidak menjadi langkah mundur bagi perkembangan Perusahaan ke depan 😅…

Walah… kok jadi ngelantur jauh. Kita lanjut dulu dari artikel sebelumnya “IPO (episode 1)”. Bicara IPO, coba kita lihat dari dua sisi.

Pertama, tidak dipungkiri banyak hal positif yang disampaikan oleh para ekonom dan pengamat (dari berbagai sumber) tentang IPO, diantaranya adalah :

  1. Meningkatkan transparansi dan pengelolaan unit usaha Pertamina menjadi lebih baik ke depan,
  2. Untuk meningkatkan kapasitas permodalannya sehingga dapat menjalankan tugas strategis Pemerintah tanpa sokongan dana dari APBN,
  3. Untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah Perusahaan,
  4. Meningkatkan profitabilitas serta efisiensi dan produktivitas Perusahaan,
  5. Memperkuat tata kelola Perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan Manajemen,
  6. Pemberdayaan BUMN sehingga mampu bersaing dan berorientasi global,
  7. IPO dapat membantu BUMN memperoleh pendanaan yang berkelanjutan dan menciptakan kemandirian Perusahaan,
  8. Bermanfaat bagi pasar modal dalam meningkatkan likuiditas dan menambah opsi sarana investasi bagi para Investor pasar modal serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham,
  9. Privatisasi “IPO” BUMN bertujuan untuk menyehatkan perusahaan-perusahaan negara dan menjadikannya sebagai world class company yang unggul di berbagai sektor bisnis yang ada. Dengan menjadi perusahaan unggulan, maka BUMN dapat memberikan manfaat melalui penerimaan deviden, pajak, peningkatan kualitas layanan dan berbagai manfaat sosial ekonomi lainnya.

Kedua, jika dilihat dari aspek yang berlawanan dengan di atas ada beberapa hal yang perlu dicermati, a.l :

a) Penjualan saham BUMN melalui penawaran umum (IPO) berdasarkan ketentuan pasar modal, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain identik dengan privatisasi. Memang dalam UU BUMN privatisasi diatur dengan cara-cara seperti melalui penawaran umum (IPO), penjualan saham langsung kepada Investor (direct placement) serta penjualan saham kepada Manajemen dan/atau karyawannya.

Ingat, IPO (privatisasi) BUMN merupakan salah satu isu yang masih kontroversial (polemik) dalam  perekonomian negara kita. Karena pada Pasal 77 UU BUMN dinyatakan bahwa perseroan yang tidak dapat diprivatisasi adalah Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dikelola oleh BUMN “negara” dan Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.

b) Dalam melakukan IPO, perlu dipertimbangkan secara matang apakah tindakan ini dapat memberikan dampak positif bagi pelayanan publik (public service) kepada masyarakat. Karena jika tidak hati-hati berpotensi hilangnya kepemilikan pemerintah (sbg minoritas) di masa depan atas BUMN tersebut karena secara perlahan, mayoritas kepemilikan sudah beralih ke pihak swasta.

Jika itu yang terjadi praktis peran BUMN sebagai public utility akan kehilangan maslahat sosialnya ditengah masyarakat, karena pihak swasta (private) cenderung lebih mengedepankan keuntungan sehingga harga produknya akan mahal dan menjadi tak terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Jadi yang dikedepankan hanya mengejar keuntungan/profit sebesar-besarnya.

c) Pada negara berkembang, privatisasi (IPO) sering dimaknai penjualan saham tersebut kepada pihak swasta yang digunakan untuk menutupi cash deficit dari APBN.

Hal ini disebut sebagai fungsi budgetter, dimana melalui IPO/privatisasi, pemerintah akan mendapatkan sejumlah dana segar yang dipergunakan untuk berbagai keperluan, terutama sebagai modal tambahan bagi BUMN yang diprivatisasi, seperti untuk keperluan investasi, pengembangan usaha, penambahan modal usaha, dan lain sebagainya. Sedangkan kelebihan dari dana hasil privatisasi tersebut dapat digunakan oleh Pemerintah untuk berbagai kepentingan publik yang ada, dengan cara menyetorkan penerimaan dana hasil privatisasi tersebut ke kas negara sebagai penerimaan APBN.

Disamping tersebut terdapat pula alasan politis ekonomis lainnya, yaitu sebagai persyaratan pinjaman dari negara atau lembaga donor internasional yang mewajibkan adanya penjualan saham BUMN sebagai syarat pencairan pinjaman. Praktek semacam ini pada akhirnya menjadikan pergeseran hakikat privatisasi dari penyehatan perusahaan menjadi penyehatan anggaran.

d) Bagian dari strategi untuk keberhasilan/kesuksesan IPO, biasanya anak usaha yang akan dilepas adalah yang terbaik dan menguntungkan (cream de la cream), karena jika tidak IPO akan berakhir dengan kegagalan. Ini artinya sudah mengarah kepada unbundling, dimana yang dikhawatirkan semua bisnis yang menguntungkan akan lepas dan keuntungan yang diperoleh lebih banyak dinikmati swasta atau pihak asing. Keuntungan yang dapat diraih akan berkurang sebesar persentase saham yang dijual dan negara pun akan mengalami penerimaan yang semakin mengecil. Pola ini sejalan dengan strategi swasta/asing dan kapitalis liberal untuk meraih keuntungan maksimal dari berbagai korporasi. Terlebih jika penguasaan itu terjadi pada mata rantai bisnis sector Migas yang sangat strategis dan menguntungkan. Sehingga yang tersisa tinggal unit-unit usaha yang tidak profitable “portofolio bisnis mengecil, keuntungan menurun & penerimaan negara juga menurun”, atau bahkan hilang dan sepenuhnya dikendalikan asing/swasta. Ingat…! Pola unbundling praktis membuat biaya penyediaan produk dan jasa akan semakin mahal yang ujung-ujungnya konsumen/rakyat lah yang dibebani “dikorbankan”.

Padahal jika semua lini bisnisnya berjalan utuh secara “bundled”, BUMN dapat melakukan fungsi-fungsi strategis negara secara optimal, terutama melakukan fungsi cross-subsidy antar wilayah dan antar konsumen, sesuai dengan tujuan pembentukan BUMN a.l berkontribusi terhadap ekonomi nasional dan melakukan tugas perintisan “sebagai agent of development” seperti yang selalu  digaungkan oleh para petinggi-petinggi Pemerintah dan Perusahaan. Hal ini jelas tidak akan optimal jika sebagian kepemilikan berpindah ke asing/swasta.

Sering yang dijadikan alasan, penjualan saham dikunci dibawah 50% sehingga direct control masih di Perusahaan “negara”. Namun siapa yang bisa menjamin ini bahwa ke depan tidak akan terjadi penjualan saham lanjutan “right issue”, seperti yang terjadi pada Indosat yang awalnya di IPO sebanyak 35% pada tahun 1994 (sekarang negara menjadi pemegang saham minoritas “tinggal 14%”). Hal ini juga terjadi pada Bank Bukopin. Karena dengan kepemilikan sebagian, terbuka jalan bagi asing atau kita sendiri dengan berbagai dalih untuk menjual saham lanjutan sehingga kepemilikan menjadi minoritas.

e) Beberapa contoh IPO BUMN yang gagal dan/atau direct control tidak sepenuhnya di negara diantaranya adalah Indosat, Bank Bukopin, Krakatau Steel dan juga PGN. Bank Bukopin nyaris bangkrut, sahamnya sudah dikuasai Kookmin Bank – Korea, kepemilikan saham negara hanya tersisa 3,18% setelah dilakukan right issue berupa penerbitan dan penjualan saham baru. Begitu juga dengan Krakatau Steel dan Indosat yang mayoritas dikuasai pihak asing. PGN yang 43% nya saham public, profit dan nilai sahamnya turun terus selama 5 tahun terakhir.

Jika kita lihat 10 urutan BUMN kontributor terbesar APBN diantaranya adalah Pertamina (81,62 Trilyun), Telkom (52,31 Trilyun), Bank BRI (Rp 41,9 Trilyun), Bank Mandiri (Rp 33,6 Trilyun), PLN (Rp 25,74 Trilyun), PGN (Rp 16 Trilyun), Bank BNI (Rp 14,8 Trilyun), Pupuk Indonesia (Rp 12,15 Trilyun), Semen Indonesia (Rp 6,8 Trilyun) dan MIND ID (Rp 5,5 Trilyun). Dari 10 BUMN tersebut hanya Pertamina, Pupuk Indonesia dan MIND ID yang sahamnya 100% dikuasai Pemerintah. Telkom yang 48% sahamnya dikuasai asing, jika 100% dikuasai Pemerintah seharusnya sumbangannya bisa melebihi Pertamina mencapai Rp 100 Trilyun.

Mencermati dua sisi tersebut, IPO “privatisasi” memang cukup banyak aspek positifnya. Namun jika tidak cermat atau salah dalam pembuatan keputusan/eksekusi, mudharat yang akan diterima jauh lebih dahsyat. Ini sangat berbahaya bagi eksistensi BUMN dan kehidupan generasi ke depan, bahkan bisa-bisa mengancam kedaulatan negara.

Menurut penjelasan salah satu anggota DPR di media, hak istimewa pengelolaan SDA hanya diberikan kepada Pertamina jika saham Pemerintah di Pertamina masih utuh 100%. Jika kurang dari itu “misalnya karena IPO”, maka privilege untuk Pertamina dan anak usahanya akan hilang.

Namun jika tidak hilang, justru yang ikut menikmati adalah swasta/asing, sementara mayoritas masyarakat yang tidak punya uang tidak berkesempatan menikmati hak istimewa tersebut. Ini jelas bertentangan dengan Ps 33 UUD 1945 dan Sila ke-5.

Jika alasan dilakukan IPO untuk mendapatkan dana murah, sebetulnya solusinya bisa tanpa IPO.  Misalnya digiring menjadi Non-Listed Public Company (NPLC), terdaftar di BEI tanpa harus menjual saham. Sebetulnya uang Perusahaan lumayan banyak, cuma ditangan pihak lain hehehe… Seharusnya yang menjadi fokus perhatian para pengambil kebijakan adalah memperbaiki kinerja BUMN dan anak usahanya melalui prinsip-prinsip GCG, yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan fairness. Namun jika aksi korporasi “IPO” dilakukan terhadap unit usaha yang bukan core business mungkin tidak masalah sepanjang pelaksanaannya dilakukan secara prudent, terbuka dan bebas moral hazard serta memperoleh harga terbaik.

Semoga hal-hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemangku kebijakan dan pemilik kewenangan di Perusahaan dan negeri ini. Yang jelas kebijakan dari keputusan yang dibuat akan memiliki konsekuensi panjang bagi Perusahaan dan masyarakat. Yang kita harapkan tinggal kejernihan berpikir yang berpihak pada masyarakat kebanyakan dan negeri ini. Semoga… (fbs – 13 Pebruari 2021).

—o0$0o—

#Kesulitan dan kehancuran masa depan merupakan akibat perbuatan masa kini, para pelakunya harus bertanggung jawab dunia dan akhirat – fbs

You may also like

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: