Kelas Dunia dan Privatisasi

by firdausbambang
world class company

world class company

“Gimana menurut Bapak…?” Pertanyaan tersebut terkait dengan judul di atas. Semakin banyak saja rekan yang ingin tahu tentang situasi ini. Kemana arahnya, apa yang akan terjadi dan bagaimana serta apa yang harus kita lakukan? Itu sekelumit pernyataan yang sering Penulis dengar, tidak hanya mereka yang di level junior bahkan para senior pun masih bertanya tentang hal tersebut.

Yang jelas Visi Pertamina ingin menjadi kelas dunia (world class). Dulu WC-NOC “oil”, kemudian bergeser menjadi WC-NEC “energy” pada 2025. Produksi minyak mentah (crude) ditargetkan 2,2jt Bbls/day. Sedangkan ambisi produksi BBM menjadi 1,6jt Bbls/day sesuai keinginan para pihak terkait. Sementara target keuntungan, oleh Direksi sebelumnya dipatok Rp 50 Trilyun pada 2015 dan terus meningkat setiap tahunnya. Pertanyaannya sekarang, “apakah hal ini bisa kita capai?”.

Ini challenging! Kita semua dihadapkan dengan sebuah tantangan yang amat berat. Apalagi bagi CEO dan jajaran BOD. Mereka tidak bisa menghindar dan pasti mendapat tekanan yang luar biasa. Sebaliknya Pekerja “mereka yang dibawah” juga terancam jika tidak mau melakukan dan mengikuti semua kebijakan yang sudah digariskan di atas. Persoalannya menjadi tidak sederhana jika ternyata strategi dan kebijakan yang diambil bersinggungan dengan fraud atau bahkan mengancam nasib Perusahaan ke depan, para Pekerja serta masyarakat & bangsa ini. Jika seperti ini, apa kita semua harus menjadi loyalitas buta…?

worldclassWorld Class adalah sebuah keniscayaan. Kita semua pasti setuju. Namun cita-cita tersebut sering diiringi orientasi buta. Seolah apapun menjadi legal dalam mencapainya. Tidak peduli dampaknya dan apa yang akan terjadi dimasa depan.

Misal, untuk membuat grand design dan mencapainya, digunakan konsultan dunia. Semuanya diserahkan pada konsultan. Semua pihak “terpaksa” menuruti apa yang diminta oleh mereka. Akhirnya mereka menguasai data dan malah belajar banyak dari kita. Faktanya tidak banyak yang diperoleh dibandingkan hasilnya dan biaya yang harus kita bayar. Justru mereka semakin pintar “belajar dari kita” dan menjadi tahu kelemahan perusahaan. Bahayanya jika mereka bagian dari pesaing atau ada agenda terselubung untuk melemahkan kita, ini menjadi semakin berisiko mengingat Pertamina dari dulu sampai saat ini masih sulit untuk dikuasai asing.

Penggunaan konsultan bisa jadi sebuah isu kritikal. Siapa mereka dan apa kompetensinya harus dapat diyakini. Jangan sedikit-sedikit serahkan ke konsultan “X”. Seolah konsultan obat mujarab, “jika sudah ditangani konsultan asing, selesai semua”. Bagaimana dengan para ahli yang kita miliki? Due diligent harus dilakukan secara cermat. Jika perlu kita harus mampu menjadi mata-mata. Sering kali orang lain banyak tahu tentang perusahaan namun kita blank tentang mereka. Business inteligent harus jalan. Kita perlu tahu secara jelas tentang mitra dan pesaing yang barangkali saja dapat menimbulkan implikasi buruk dan menjadi ancaman di kemudian hari.

Presiden FSPPB Drg. Ugan Gandar pernah bilang ke Penulis, “salah satu cara untuk menguasai negeri ini, kuasai Pertamina. Sebaliknya untuk menghancurkan juga bisa dari Pertamina. Dari sini, penggiringan bisa dilakukan secara sistimatis, terstruktur dan masif melalui isu globalisasi, inkorporasi dan privatisasi. Sehingga penggunaan konsultan internasional menjadi sah. Dan dilalahnya lagi, mental orang-orang kita ‘masih luar negeri minded’ alias suka diperintah asing. Nah… klop lah itu”.

Belajar dari sejarah, beberapa BUMN strategis sudah di-swastanisasi (privatisasi). Pintu masuknya selalu menggunakan jargon “agar kinerjanya meningkat, agar lebih lincah, mengurangi campur tangan para pihak, agar lebih transparan dan mendapatkan dana murah dari pasar”. Sebagai contoh, yang pertama di-private adalah PT Semen Gresik dengan melakukan penawaran saham perdana di bursa dalam negeri. Kegiatan itu nyaris tak banyak diketahui oleh masyarakat, sebab pasar modal belum begitu dikenal saat itu. Sukses disini, berturut-turut setelah itu PT Indosat, PT Timah, PT Telkom dan Krakatau Steel melakukan pencatatan saham di bursa asing dan domestik sekaligus. Selanjutnya merambah keberbagai aspek, termasuk Bank-Bank pun diprivatisasi, termasuk air (PAM) yang dikonsumsi yang notabene menjadi hajat hidup orang banyak.

Privatisasi

Ilustrasi Privatisasi

Dari sebuah tulisan yang Penulis baca, di atas kertas penerbitan obligasi memang tidak otomatis berarti privatisasi. Namun, dalam struktur perekonomian dimana sektor swasta hanya dikendalikan oleh sekelompok kecil pengusaha, bahkan didominasi oleh modal asing, pencarian dana BUMN melalui global bond memang patut diwaspadai. Karena ini menjadi jalan masuknya “privatisasi”. Penjualan BUMN bisa berakibat pengalihan monopoli dari negara kepada swasta. Pengalihan ini tentunya berbahaya, karena perilaku mengeruk keuntungan pihak swasta bisa lebih kejam dari pada negara. Kita tahu, satu-satunya kontrol yang efektif terhadap kegagalan pasar bebas (market failure) seringkali hanyalah krisis dan depresi ekonomi. Sementara, apabila negara punya porsi yang signifikan dalam perekonomian, kita memiliki banyak sekali instrumen untuk mengontrol pasar. Ini membuat kepemilikan oleh negara bagi sektor-sektor strategis lebih aman daripada kepemilikan oleh swasta.

Sebagai contoh PGN yang berbisnis SDA Gas, sahamnya sudah dilepas kepada publik. Saat ini porsi pemerintah tinggal 57%, sisanya 43% dimiliki korporasi swasta (82% dikuasai investor asing), bukan masyarakat sebagai publik. Nah jika Pertamina juga diperlakukan seperti ini, bablas sudah. Kedaulatan dan ketahanan energi sebagaimana yang dicita-citakan semakin jauh dari harapan. Pada awalnya memang kelihatan bagus. Tapi ingat, ini adalah bagian dari permainan yang baru dimulai.

Jadi berhati-hatilah dengan model kerjasama yang dibangun, seperti format akuisisi, RDMP (Refinery Development Management Project), KSO lapangan dan unit operasi, dlsb. Jatuhnya harga minyak menambah parah nilai keekonomian akuisisi yang sudah dilakukan. Semua pihak harus cermat dan kritis disini. Jangan ada yang ditutupi. Tidak ada gunanya jika segala sesuatunya sudah terlambat.

Kita bukan apriori. Kita hanya ingin kinerja Pertamina dikontrol secara benar oleh masyarakat dan Pemerintah. Transparansi menjadi sebuah keniscayaan, apalagi BUMN yang notabene memiliki tanggung jawab kepada Pemerintah, masyarakat dan bangsa ini. Tanpa diprivat-pun, secara otomatis harusnya BUMN “Pertamina” wajib transparan. Jangan dibalik, untuk mengeruhkan suasana, BUMN dituding seolah-olah sulit transparan. Sebenarnya, kuncinya ada pada profesionalisme dan good will Pemerintah dan para Pejabat yang ada di dalamnya.

Menurut staff penulis, obligasi adalah the good way of financing. Tapi ingat bahayanya jika ada rekayasa dan vested interest yang bermain di dalamnya. Obligasi/hutang yang luar biasa besarnya tanpa kehati-hatian investasi atau dengan perilaku investasi yang menjerumuskan, merupakan cara halus untuk mematikan BUMN. Persis ular Phyton yang tidak langsung membunuh mangsanya, tapi melilitnya sampai tak berdaya, kemudian mati lemas baru dimangsa.

Saat ini dengan jumlah obligasi hutang perusahaan yang sangat besar “~ Rp 288 Trilyun” situasinya semakin rawan. Bisa saja saat obligasi/bond jatuh tempo dan kita gagal bayar (default), untuk melunasinya dilakukan swap dari hutang ke penyertaan modal (convertible bond), atau penyerahan jaminan atas obligasi berupa aset perusahaan. Jika ini terjadi, apa yang dicemaskan oleh banyak pihak tentang privatisasi atau pelepasan asset Pertamina menjadi kenyataan.

oil rigSadar atau tidak, kita memang butuh modal besar dalam mewujudkan WC-NEC. Misal untuk mengelola blok-blok yang akan diserahkan ke Pertamina, atau untuk menambah produksi minyak mentah dan meningkatkan cadangan melalui akuisisi, atau meningkatkan produksi BMM melalui revamping dan bangun baru refinery, atau investasi lainnya. Seringkali dalam pembiayaan, sulit diperoleh dana dari anggaran negara. Yang kita tidak boleh lupa adalah bahwa dari manapun sumbernya sepanjang dana tersebut bukan merupakan dana sendiri terlebih lagi apabila merupakan utang luar negeri, secara langsung atau tidak akan menjadi beban devisa dan berpengaruh terhadap per-ekonomian nasional.

Salah satu solusi pendanaan adalah dengan menerbitkan obligasi retail seperti yang selama ini dilakukan pemerintah dengan syarat WNI, perorangan dan dibatasi dengan jumlah tertentu. Disamping itu, upaya lainnya yang dapat menolong perusahaan adalah dengan menguasai blok-blok yang akan habis kontraknya (spt. Mahakam, ONWJ, dll) melalui pendekatan kepada pemerintah dan dukungan masyarakat.

BUMN harus diberdayakan, disamping meraih profit, yang paling utama adalah perannya dalam melayani publik. Memberikan manfaat bagi masyarakat banyak. Top Level manajemen yang diserahi tanggung jawab mengelolanya, harus mampu meninggalkan legacy yang layak dikenang bagi generasi berikutnya.

So… apakah target WC-NEC melalui aksi ke arah privatisasi menjadi pilihan bijak yang harus dilakukan? Bisa jadi dengan privatisasi kesejahteraan meningkat dan gaji naik berlipat. Keluarga pasti senang. Tapi bagaimana dengan nasib masyarakat dan saudara kita lainnya saat kebijakan harga dan kewenangan lainnya dikendalikan oleh asing. Masyarakat menjadi semakin tidak mampu membeli BBM karena harga ditentukan oleh juragan asing. Multiplier effect-nya ongkos dan harga barang lainnya juga ikut-ikutan menggila. Apakah itu yang kita inginkan? Dimana nurani…?

Bisa jadi kebanggaan kita saat itu adalah karena bos kita orang asing. Inikah legacy yang akan ditinggalkan oleh Manajemen…? Wallahu’alam bissawab… (* penulis saat ini sedang menyelesaikan program Magister Hukum)

You may also like

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: