Haqul yakin, tidak semua orang paham apa itu DER (Debt to Equity Ratio)? Khususnya mereka yang bukan orang keuangan. Untuk memudahkan, Penulis coba kutip tulisan dari Koran Tempo pada 12 Juni 2014 yang lalu : “berdasarkan Laporan Keuangan PLN 2013, total utang PLN mencapai Rp 462,6 trilyun dan total ekuitas sebesar Rp 133,2 trilyun. Dari angka itu, utang jangka panjang sebesar Rp 374,3 trilyun dan jangka pendek Rp 88,3 trilyun. Rasio utang terhadap ekuitas (DER) PLN per-2013 sebesar 3,47 kali atau 347%”.
Secara sederhana, DER berarti rasio hutang terhadap modal (ekuitas). Dari gambaran di atas jika total hutang Rp 462,6 trilyun, sedangkan modal Rp 133,2 trilyun, berarti DER nya adalah 462,6T/133,2T = 347% atau 3,47 kalinya.
Jadi DER merupakan cara paling mudah untuk menentukan apakah perusahaan tersebut hutangnya besar atau kecil adalah dengan cara membandingkan dengan modalnya. Dari sini kita dapat tentukan masih wajar atau tidaknya hutang tersebut. Berbahaya atau tidak…?! Rasio DER menunjukan sejauh mana Perusahaan dapat menanggung kerugian tanpa harus merugikan kreditornya. Sejauh mana modal perusahaan dapat menutupi hutang-hutang pada pihak luar (Kreditor). Karena semakin besar DER semakin besar resiko yang akan dihadapi Perusahaan, dimana salah satunya adalah resiko default (gagal bayar) atau KEBANGKRUTAN.
Jika PLN DER nya 347%, bagaimana dengan kita “Pertamina”. Jika kita baca Laporan Keuangan Pertamina tahun 2013, DER kita adalah sebesar 189%. Artinya masih lebih kecil jika dibandingkan dengan PLN.
Dalam kurun waktu 5 tahun, rasio liabilitas terhadap ekuitas (DER) Pertamina mengalami kenaikan yang signifikan yang a.l disebabkan oleh adanya peningkatan pada hutang jangka panjang karena penerbitan obligasi (Global Bond). Jika tidak disikapi secara serius ini akan terus meningkat.
DER merupakan salah satu analisa rasio dari Leverage Ratio yang dapat digunakan untuk mengukur stabilitas atau kesehatan keuangan. Selain Leverage Ratio ada juga analisa rasio lainnya yang dapat digunakan yaitu: Liquidity Ratio (misal: Cash Ratio), Activity Ratio (misal: Total Assets Turnover), dan Profitability Ratio (misal: Return On Equity – ROE). Namun disini Penulis hanya fokus kepada DER saja.
Utang yang wajar, pastinya DER nya dibawah 100%. Tapi eitt… tunggu dulu, bukan berarti hutang yang lebih besar dari modal langsung kita simpulkan juga tidak wajar. Jaman sekarang orang justru lebih banyak berpendapat, untuk tumbuh kita perlu dana segar (cari hutangan) dari luar. Namun tentunya hutang tersebut bukan hutang-hutang yang berbahaya, tapi hutang yang mendukung perusahaan untuk berkembang.
Hutang yang berbahaya adalah pinjaman yang mengharuskan perusahaan untuk membayar bunga, atau denda jika terlambat membayar. Berbahaya…? Jelas bahaya karena bunga tersebut bisa menggerogoti laba bersih perusahaan. Sementara utang yang tidak berbahaya adalah utang operasional seperti utang usaha, beban yang masih harus dibayar, uang pelanggan yang diterima dimuka, dan seterusnya. Utang-utang tersebut biasanya tidak mengandung bunga atau denda, sehingga tidak akan berpengaruh terhadap perolehan laba bersih perusahaan.
Apa ada hutang yang tidak berbahaya. Tentunya jelas ada. Yaitu sejauh beban bunga yang harus dibayar perusahaan sepadan dengan keuntungan yang bisa dihasilkan perusahaan, jika perusahaan memperoleh tambahan modal usaha untuk ber-ekspansi dari utang tersebut. So, tidak selamanya hutang bersifat negatif, melainkan justru bisa menguntungkan perusahaan.
Sebagai contoh misalnya bisnis gas. Produk tersebut saat ini sangat dibutuhkan oleh pasar, “baik Buyer dari dalam maupun LN”. Namun untuk bisa memenuhi semua pesanan tersebut, beberapa hal perlu dilakukan. Mulai dari melakukan eksplorasi sampai memproduksinya dengan membangun plant dan menyalurkan/memasarkannya. Untuk semuanya ini misalnya dibutuhkan modal sebesar US$ 1 Milyar. Namun ternyata Perusahaan tidak memiliki dana yang cukup. Padahal jika ini bisa dipenuhi akan diraup keuntungan bersih sekitar US$ 500 juta hanya dalam 2 atau 3 tahun setelah dikurangi beban bunga. Kalau Manajemen memutuskan menunggu modal terkumpul, bisa-bisa momen-nya menjadi tidak pas atau Buyer-nya sudah disambar pesaing duluan dan kita tidak mendapatkan apa-apa. Untuk itu Manajemen perlu segera mencari pinjaman.
Jika peluangnya seperti gambaran di atas, tidak ada salahnya perusahaan mencari pinjaman/hutangan karena prospeknya jelas. Diantaranya adalah dengan menerbitkan Global Bond seperti yang cukup sering kita dengar dilakukan oleh Direksi akhir-akhir ini.
Hal ini berlaku juga saat menggarap proyek-proyek lainnya seperti membangun unit processing/kilang, melakukan pengeboran (eksploitasi & eksplorasi), membangun tanki penimbun produk BBM/crude, melakukan Merger & Acquisition (M&A), dlsb… Dengan catatan proyek-proyek tersebut dilakukan melalui Feasibility Study & perencanaan yang baik, mendapatkan mitra yang kompeten saat proses pengadaannya, memperoleh the best price, eksekusi dan pengawasan dilakukan secara profesional, penyelesaiannya tidak molor atau malah gagal, serta unit yang dibangun reliable sehingga Perusahaan memperoleh return dan keuntungan sesuai rencana.
Saat kita berhasil menerbitkan Global Bond, jangan terlalu euphoria. Yang utama dan menjadi fokus perhatian adalah bagaimana mengelola dan menginvestasikan dana tersebut sehingga pada saat obligasi (bond) tersebut jatuh tempo, Perusahaan memiliki kesanggupan untuk membayar pokok pinjaman berikut bunganya. Dengan gambaran DER yang sudah tinggi (189%), Manajemen & Direksi perlu ekstra hati-hati. Jangan terus asyik menumpuk pinjaman (menerbitkan Global Bond) namun ternyata semua investasi/proyek yang dilakukan berujung pada kegagalan dan/atau keterlambatan sehingga terjadi opportunity loss yang luar biasa. Atau yang lebih parah lagi, pinjaman tersebut malah digunakan untuk membiayai kegiatan operasional. Fatalnya kita baru sadar saat bond tersebut jatuh tempo dan Perusahaan tidak mampu untuk melunasi hutang-hutangnya.
Akhirnya yang tidak diharapkan terjadi. Kita harus mencari sumber lain untuk mencari dana penutup obligasi yang sudah jatuh tempo tersebut. Kita harus menggali lobang “menambah hutang” lebih dalam lagi. Itu kalau masih ada yang percaya dan mau memberikan pinjaman. Jika tidak, terpaksa kita harus lakukan amputasi “menjual” unit-unit usaha yang paling bagus dan diminati oleh pemodal kuat. Jika itu yang terjadi, bagaimana nasib Pertamina dan bangsa ini kedepan karena aset-asetnya jatuh ke pihak asing/swasta. Bagaimana nasib Pekerjanya…?!
Ini yang sebetulnya perlu diwaspadai oleh Manajemen, Direksi, Komisaris dan Pemegang Saham. Dituntut pemahaman dan kepedulian semua Pekerja terkait situasi ini. Kontrol harus dilakukan bersama-sama. Kecuali kalau kita semua menginginkan Perusahaan ini tidak berumur panjang atau tidak ingin Pertamina tumbuh menjadi WC-NEC.
Nah sekarang bagaimana kinerja dan gambaran profit kita pada akhir tahun nanti? Bagaimana cash flow Perusahaan saat ini? Bagi mereka yang paham situasi ini, tolong dijawab. Mari kita bandingkan pada akhir tahun nanti. Seperti apa realita kejadiannya. Bagaimana nasib Perusahaan ditahun-tahun mendatang saat obligasi tersebut jatuh tempo. Mudah2an apa yang menjadi kekhawatiran Penulis tidak terjadi.
Jika jawaban “tidak optimis” yang diperoleh dari para pihak yang mengetahui persis persoalan ini ditambah dengan DER yang sudah tinggi, ini merupakan legacy dan pertaruhan bagi Manajemen, Direksi & Komisaris saat ini. Apakah mereka ingin dikenang karena keberhasilannya atau dikenang karena kegagalannya mengelola pinjaman dan mengurus Perusahaan ini sehingga terjadi default dan/atau KEBANGKRUTAN. Wallahualam bisshawab… (* penulis saat ini sedang menyelesaikan program Magister Hukum)