Transformasi “Holding & Sub-Holding” (T-H&SH)

by firdausbambang
pertamina holding subholding

Masih cukup banyak pergulatan dan pertanyaan terkait T-H&SH ini. Secara sederhana transformasi jelas menggambarkan sesuatu yang menggairahkan, challenging, memancing semangat baru dan harapan baru. Makna harfiahnya adalah perubahan rupa “bentuk, sifat, fungsi dlsb” dan/atau perubahan gramatikal dengan menambah, mengurangi atau menata kembali unsur-unsurnya menjadi struktur gramatikal lainnya. Terbayang luar biasanya jika persepsi itu bisa diwujudkan dan disatukan secara holistic dengan tetap memperhatikan “aspek keluar maupun kedalam, termasuk sisi kedaulatan-nya”.

Trend yang kita lihat dalam pengelolaan bisnis migas, yaitu seimbang antara pengelolaan sektor hulu dan hilir. Ini menjadi kebijakan strategis yang diimplementasikan oleh berbagai perusahaan migas besar dunia. Merger/penggabungan perusahaan migas dunia seperti BP dan AMOCO, Total, Fina dan Elf, Exxon dengan Mobil, maupun Conoco dan Philips adalah dalam rangka mencapai tujuan optimalisasi keuntungan bisnis dengan menyeimbangkan volume/kapasitas bisnis Hulu dan Hilir Perusahaan. Dalam hal harga minyak mentah dunia turun, maka sektor hilirnya dioptimalkan produksinya sebagai sektor yang menghasilkan kentungan perusahaan. Demikian pula sebaliknya, ketika harga minyak mentah naik tinggi, maka perusahaan akan bertahan karena sektor hulu akan menjadi tulang punggung dalam menghasilkan revenue maupun keuntungan. Dengan kata lain akan timbul permasalahan kinerja bagi perusahaan yang hanya bergerak di sektor hilir atau bergerak di sektor hulu saja.

Gambaran keseimbangan ini mirip dengan kondisi Pertamina sebelum T-H&SH, dimana dengan pola bisnis yang terintegrasi bertujuan untuk menjamin security of supply dalam penyediaan pemenuhan energi yang menopang ketahanan energi. Dengan terintegrasinya bisnis hulu ke hilir, maka jalur koordinasi perusahaan menjadi jelas dan gamblang dalam satu kesatuan sebagai representasi Pemerintah.

Sekarang dengan seluruh bisnis inti dari Hulu ke Hilir “dari Eksplorasi hingga pemasaran” dijadikan Sub Holding (SH), secara logika sederhana berpotensi “memicu” terjadinya persaingan bisnis antar sektor usaha, terlebih jika masing-masing SH ber-ambisi “ditekan” untuk melantai di bursa.

Beberapa hal terpikirkan yang mungkin perlu dicermati, diwaspadai dan dicarikan solusinya oleh berbagai pihak a.l adalah :

1. Kebijakan transfer Price yang dapat berisiko kontraproduktif

Sumber: Brevet Online

Dengan berlakunya kebijakan Holding – Sub Holding (H-SH) maka masing–masing SH akan menjadi entitas bisnis tersendiri sehingga transaksi pengiriman MM (crude), BBM, BBK dan Non BBM dari RU ke MOR menjadi transaksi jual beli antar entitas.  Mengingat bahwa parameter Net Income telah menjadi KPI masing – masing SH maka proses penentuan formula transfer price akan menjadi hal yang krusial. Entitas yang bertindak selaku penjual tentunya akan berusaha memperoleh harga setinggi mungkin dan sebaliknya entitas pembeli berusaha untuk mendapatkan harga serendah mungkin.

Kebijakan penentuan formula transfer price ini akan lebih krusial lagi ketika masing-masing entitas dihadapkan pada kondisi dimana ada kesempatan untuk mendapatkan produk yang lebih murah dari pihak lain, misalnya impor, daripada mengambil dari SH yang ada.  Sebaliknya juga adalah ketika entitas tersebut dapat menjual produknya secara lebih menguntungkan ke pihak lain di pasar domestik atau ekspor.

Apabila kondisi tersebut dimungkinkan maka akan dapat berpengaruh pada margin perusahaan secara konsolidasi. Namun apabila tidak, maka perlu ditetapkan kebijakan transfer price yang fair sehingga masing-masing entitas tidak merasa dirugikan karena kehilangan kesempatan untuk mendapatkan margin yang lebih besar. Kebijakan yang ditetapkan oleh Holding selaku integrator harus harus mampu mengakomodir berbagai kondisi yang mungkin terjadi sebagaimana contoh diatas sehingga secara konsolidasi tidak bersifat kontraproduktif.

2. Adanya beban biaya pemisahan/pengalihan asset

Walaupun mengacu pada PMK No. 56/PMK.010/2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha, atas aktivitas spin off yang akan dilakukan dapat tidak dikenakan pajak, namun SH yang menerima asset yang dialihkan harus membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terutama bangunan karena status tanah kepemilikkan dan pengelolaannya tetap di Holding. Yang diuntungkan tentunya pihak Pajak hehehe… Dalam hal ini perlu pencermatan, jangan sampai terjadi overstated atas nilai aset pada Neraca Pembuka SH, dikarenakan adanya potensi pencatatan aset SH yang seharusnya tetap berada di Holding.

Aset-Aset yang dilimpahkan dari Holding ke SH akan berdampak kepada pembayaran pajak yang cukup besar dan apabila SH tidak mampu me-utilisasi aset tersebut dengan baik justru akan menjadi beban bagi SH yang menerima asset tersebut “timbul biaya operasional & maintenance yang cukup besar”. Belum lagi bicara sewa tanah yang dikenakan kepada SH seperti pajak sewa PPN 10% ditambah PPh 10%. Apalagi jika terjadi kesalahan nilai dari valuasi yang dilakukan oleh KJPP.

3. Beban Pajak dapat menyebabkan harga kurang kompetitif

Sebagai contoh, sebelum ada SH ketika Dit. Pengolahan (Refinery Unit “RU”) mengirim produk BBM, BBK & Non BBM ke Dit. Pemasaran, tidak ada pengenaan PPN karena statusnya masih dalam satu entitas bisnis. Dengan berlakunya SH karena pengiriman produk tersebut adalah transaksi jual beli maka entitas dapat dikenakan PPN 10%. Dengan adanya penambahan biaya 10% ini tentunya berpotensi berpengaruh pada perhitungan harga jual akhir ke masyarakat atau industri yang lebih tinggi.

Jadi sinergi yang dilakukan antar SH sudah bersifat transaksional yang berdampak pada munculnya pajak yang sejatinya dulu tidak ada pajak di internal Pertamina.

Harga jual yang tinggi bersiko akan membuat produk Pertamina menjadi kurang kompetitif dibandingkan produk kompetitor. Hal ini sangat penting karena Pertamina sebagaimana diketahui bersama bukannya satu – satunya pemain di sektor hilir migas.

Dan jika ingin menang bersaing bisa jadi harus mengorbankan salah satu-nya, sehingga jelas menggerus revenue dan pencapaian laba pada entitas tersebut.

4. Risiko kebijakan Pemerintah yang kurang menguntungkan

Pertamina sebagai salah satu BUMN dalam menjalankan bisnisnya tidak bisa lepas dari kepentingan Pemerintah selaku pemegang saham. Keputusan bisnis yang diambil tidak serta merta berorientasi profit semata tetapi juga dapat mengacu kepada kebijakan Pemerintah. Kebijakan pemerintah tersebut bisa jadi  secara keekonomian kurang menguntungkan Pertamina. Apabila keputusan bisnis berasal dari Pemerintah maka perhitungan keekonomian cenderung dinomorduakan karena statusnya adalah perintah “titah”. 

Sehubungan dengan adanya SH maka perlu dipahami bahwa perintah tersebut diberikan Pemerintah kepada PT Pertamina (Holding) bukan ke SH secara langsung.  Namun, mengingat bahwa semua proses bisnis dilakukan di SH, tentunya perintah pemerintah tersebut eksekusinya tidak dilakukan di Holding. Jika dalam pelaksanaannya ternyata kurang menguntungkan, menjadi tidak fair, jika kerugian yang timbul dibebankan sepenuhnya ke SH selaku eksekutor. Dalam hal ini Holding harus mau dan berani menanggung risiko kerugian tersebut.

Permasalahan selanjutnya muncul mengingat bahwa holding sendiri tidak melakukan kegiatan bisnis dan hanya merupakan cost center. Lantas bagaimana mungkin Holding dengan status cost center harus menanggung kerugian bisnis yang dilakukan pada salah satu SH nya.  Jika dibebankan atau di-share ke SH yang lain bagaimana lagi formulanya. Tentu ini akan menjadi hal rumit karena masing–masing SH sudah mempunyai target net income yang menjadi ukuran kinerjanya. Sub holding yang sebagai eksekutor bisa jadi tidak hanya sekedar ingin kerugian tersebut dialihkan ke Holding tetapi juga berharap mendapatkan fee atas kegiatan bisnis yang sudah dilakukan karena tentunya tidak mau dihargai sekedar kerja bakti. Apakah memungkinkan SH lain mau mensubsidinya? Tentunya masalah ini semua tidak akan menjadi issue pada saat sebelum adanya H-SH.

5. Terjadinya silo-silo (gap antar SH)

Ini masalah koordinasi dan kita tahu dari dulu ini merupakan barang mahal di Perusahaan. Dengan pemilahan korporasi yang awalnya terintegrasi kemudian terpecah sesuai core-nya memicu terjadinya silo-silo antar SH karena masing-masing SH di dituntut untuk mandiri secara finansial. Dengan adanya target finansial “laba” tentunya masing-masing SH akan mengejar profit setinggi-tingginya. Sebagai contoh antara R&P (KPI) dan C&T (Patra Niaga) dimana kedua SH ini dapat melakukan penjualan produk dan menetapkan margin sendiri untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Untuk menghindari konflik antar entitas dan kerugian di salah satu pihak maka perlu dibuat kebijakan yang disepakati seluruh pihak terkait karena tidak bisa dihindari saat ini Pertamina juga masih mendapatkan penugasan untuk penyaluran produk BBM bersubsidi.

Hal ini tidak bisa dipungkiri, karena semua SH otomatis bicaranya business only, sementara yang sifatnya penugasan dan lainnya sebagai agent of development berpotensi akan menjadi prioritas akhir. Apalagi jika masing-masing SH melakukan IPO. Contohnya PGN, karena sudah go public, nampaknya tidak ada penugasan ke PGN karena sebagian sahamnya sudah beralih/dimiliki oleh pihak lain (swasta & asing). Ini rawan bagi kedaulatan dan sulit berpihak kepada masyarakat.

Disamping tersebut, Pola Optimasi Produksi maupun Distribusi Produk bisa jadi akan ada kendala karena silo-silo antar SH lebih besar. Hal ini disebabkan masing-masing SH akan mengedepankan target dari KPI masing-masing. Antar SH akan terjadi real transaksional. Direktorat terkait di Holding sebagai optimator perlu tools untuk dapat mengontrol silo-silo tersebut agar tidak terjadi.

6. Fleksibilitas yang berpotensi sulit fleksibel

Pembentukan SH yang dikatakan dapat lebih fleksibel dalam menjalankan kegiatan bisnisnya dan lebih efisien berpotensi tidak sepenuhnya berjalan karena tetap harus menjalankan kebijakan atau penugasan yang sudah ditetapkan di level Holding.

Seperti terkait dengan penjualan produk “khususnya PSO”, secara legal pelaksanaan PSO ada di Holding. Dengan pemecahan H-SH maka SH yang akan melaksanakan PSO harus mengurus ijin terlebih dahulu atau memperoleh penegasan terkait penugasan PSO tersebut.

Belum lagi jika jika dikaitkan dengan PerPres No. 191 Thn 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Aceran BBM dan PerMen ESDM No. 41 Thn 2018 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN Jenis Biodiesel dalam Rangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dimana salah satunya dinyatakan Badan Usaha yang menyalurkan jenis BBM tertentu (Kero & Solar), BBM Khusus Penugasan (Premium RON 88) harus memiliki fasilitas Kilang, termasuk juga kewajiban pencampuran BBN jenis biodiesel sehingga hal tersebut berpotensi berbenturan dengan ketentuan berlaku.

7. Terjadi kompetisi “persaingan” tidak sehat

Potensi ini sangat terbuka dan terjadi antar SH apabila pengaturan bisnis tidak dibuat secara jelas dan dilaksanakan secara konsisten. Sebagai contoh misalnya Produk Petkim dari Kilang yang dijual langsung oleh SH R&P Vs Produk Petkim ex Import yang dilakukan SH C&T yang sama-sama akan dilepas di pasar domestic. Persaingan harga akan terjadi dalam rangka me-laku-kan produknya masing-masing, belum lagi persaingan dengan kompetitor.

8. Sulit mewujudkan BBM Satu Harga

Program BBM Satu Harga dulunya diawali dengan adanya keuntungan Pertamina yang didominasi oleh keuntungan sektor hulu yang disisihkan dan menjadi kompensasi harga BBM di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal yang disamakan dengan Pulau Jawa. Oleh karena sektor hulu dan hilir Pertamina di dalam satu pengelolaan keuangan di Pertamina, tentunya pengurangan pendapatan akibat BBM Satu Harga tidak menjadikan kondisi keuangan perusahaan menjadi buruk. Lain halnya apabila setiap bisnis migas Pertamina dalam bentuk entitas yang berdiri sendiri “SH” dan terlebih bila 100% tidak milik negara tentunya kebijakan subsidi silang dimaksud tidak dapat dilakukan dan entitas yang mengelolanya “C&T/Patra Niaga” bisa jadi tidak akan bersedia menanggung kerugian sebagai kinerja perusahaan. Dengan demikian, program BBM Satu Harga tentunya akan terganggu. Bila hal ini terjadi, maka amanat penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan bagi rakyat Indonesia sulit dicapai.

Disamping tersebut, Penugasan Pemerintah untuk mendistribusiakn BBM Satu Harga, BBM JBKP (Premium) dan JBT (Solar) juga harus disesuaikan “baik formalitasnya (surat penunjukannya kepada SH bukan kepada Pertamina maupun dengan formulasi biaya penggantiannya”, karena adanya perubahan struktur biaya transfer price yang merupakan dampak dibentuknya SH.

9. Pengambilan kebijakan/keputusan strategis bisa saja berdampak (-)

Kok bisa… Padahal itu keputusan/kebijakan strategis, misalnya pengambil alihan aset terminal LPG Swasta, kebijakan import dlsb yang melibatkan Holding dan disesuaikan dengan arah kebijakan Holding dengan pertimbangan keuntungan secara holding. Hal ini tentunya dapat berdampak adanya pengorbanan di SH tertentu dan keuntungan di SH lain yang bermuara benefit yang diterima pekerja di SH akan berbeda dan menjadikan kontra produktif bagi Pekerja di SH yang dikorbankan.

Sebagai contoh, asset-aset TBBM Utama SH C&T yang diserahkan kepada SH Shipping perlu diperhatikan dampak biaya bagi HPP produk, dalam hal ini perlu memperhatikan mekanisme penerapannya, “apakah sewa atau at cost bagi C&T”.

Contoh lainnya misalnya seperti kenaikan HPP per produk di SH C&T, meskipun secara konsolidasi tidak merugikan namun secara HPP per produk yang dijual oleh SH C&T akan ada kenaikan sehingga harga produk C&T kurang kompetitif, dimana kenaikan tersebut disebabkan karena kenaikan biaya distribusi akibat sistem kesepakatan Cost of Afraighment yg diterapkan antara entitas terkait.

10. Pembengkakan jabatan dan overhead cost

Pembentukan/pemisahan H-SH walaupun terkesan mengurangi jabatan Direksi di Holding namun dengan terbentuknya SH sebenarnya malah memperbesar struktur organisasi atau menambah jabatan Direksi dan Komisaris serta perangkatnya. Mengingat para pejabat tersebut harus mendapatkan fasilitas sesuai levelnya, praktis secara logika akan meningkatkan overhead cost. Tinggal yang kita tunggu sekarang, apakah hal ini sebanding dengan kontribusi dan level kompetensi yang mereka tempati serta kinerja yang ditunjukkan.

Belum lagi jika dikaitkan dengan noise yang muncul di berbagai media hehehe…

11. Status Insan Pertamina dan kesejahteraan

Bisnis yang semula berada di Pertamina, dengan pembentukan H-SH beralih ke SH. Hanya soal waktu masing-masing SH akan merubah strategi remunerasi sesuai kemampuan dan laba masing-masing entitas. Termasuk menyesuaikan dengan pasar dan/atau Industri/Perusahaan pesaing yang bisa jadi di bawah (lebih rendah) dan/atau tidak lagi masuk dalam kategori oil & gas.

Ini cukup logic, karena muncul pertanyaan “sampai berapa lama dan kebijakan akuntansi “remunerasi” seperti apa yang akan dilakukan Holding (Pertamina) dalam membayar ‘talangan’ selisih pendapatan sesuai yang disepakati di dalam PKB?”, mengingat Holding sudah tidak lagi memiliki bisnis (Holding = cost centre). Di sisi lain, jika hal tersebut dibebankan kepada masing-masing SH maka terjadi situasi dimana kemampuan masing-masing entitas pasti tidak sama sehingga slow but sure masing-masing entitas akan memiliki perbedaan standar pengupahan atas pekerjaan serupa yang dilakukan dua pekerja yang berasal dari entitas berbeda.

Sebagai insan Pertamina yang selama ini taat dengan kebijakan, kita semua berharap semoga tidak terjadi tindakan kesewenangan, terlebih jika ditempuh opsi pemutusan hubungan kerja oleh Perusahaan menggunakan pasal pengalihan pengelolaan atau perubahan status Perusahaan, mengingat kemampuan PSL untuk pembayaran pesangon pekerja juga perlu dipertimbangkan. Ini perlu menjadi perhatian serius semua insan Pertamina dan tanggung jawab moral Manajemen (Pemimpin di Top Level).

12. SH “gerbang menuju IPO” Vs public utility

Pembentukan Subholding yang berpotensi mengarah kepada rencana pelepasan asset melalui IPO akan mengakibatkan tidak dapat dikontrolnya harga produk karena penentuan harga berpotensi akan diserahkan kepada mekanisme pasar. Jika itu yang terjadi “khususnya untuk produk public utility” apakah tindakan ini dapat memberikan dampak positif bagi pelayanan publik (public service) kepada masyarakat. Praktis peran BUMN sebagai public utility akan kehilangan maslahat sosialnya ditengah masyarakat, karena pihak swasta (private) cenderung lebih mengedepankan keuntungan sehingga harga produknya akan mahal dan menjadi tak terjangkau oleh rakyat kebanyakan.

Sebagai lesson learned perlu juga berkaca kepada beberapa contoh IPO BUMN yang gagal dan/atau direct control tidak sepenuhnya di negara seperti Indosat, Bank Bukopin, Krakatau Steel dan juga PGN. Bank Bukopin nyaris bangkrut, sahamnya sudah dikuasai Kookmin Bank – Korea, kepemilikan saham negara hanya tersisa 3,18% setelah dilakukan right issue berupa penerbitan dan penjualan saham baru. Begitu juga dengan Krakatau Steel dan Indosat yang mayoritas dikuasai pihak asing. PGN yang 43% nya saham public, profit dan nilai sahamnya turun terus selama 5 tahun terakhir.

Sering juga dilontarkan pernyataan, kita akan lepas maksimal 40% atau penjualan saham dikunci dibawah 50% sehingga direct control masih di Perusahaan “negara”. Namun siapa yang bisa menjamin ini bahwa ke depan tidak akan terjadi penjualan saham lanjutan “right issue”, seperti yang terjadi pada Indosat yang awalnya di IPO sebanyak 35% pada tahun 1994 (sekarang negara menjadi pemegang saham minoritas “tinggal 14%”). Hal ini juga terjadi pada Bank Bukopin. Karena dengan kepemilikan sebagian, terbuka jalan bagi asing atau kita sendiri dengan berbagai dalih untuk menjual saham lanjutan sehingga kepemilikan menjadi minoritas.

Sedikit intermezzo, saat Leader Forum “High Performance Culture” pada tanggal 30 Juni 2021 dengan pembicara Dirut PLN (Zulkifli Zaini sebagai penulis buku Execution Matters), penulis sebetulnya sempat bertanya >>> “Pak Zul, mohon maaf sebelumnya… Terkait dgn TRANSFORMASI dan EKSEKUSI yg sudah dilakukan oleh PLN, yang mengemuka dipermukaan katanya PLN boleh dikatakan sudah tidak punya apa-apa lagi karena asetnya sudah diprivatisasi “kecuali diluar Jawa-Bali yg hanya tersisa 15% dari seluruh Indonesia”. Eksistensi PLN saat ini sangat tergantung dari Subsidi. Bahayanya pada saat listrik tidak ada subsidi lagi, kartel listrik swasta yang sudah mendominasi “menguasai” tidak mungkin akan mempertahankan PLN secara institusi karena “over head” nya mahal yang selanjutnya potensi dampak berikutnya harga listrik akan dikendalikan oleh mereka. Berapapun yang mereka hasilkan “diserap atau tidak diserap” tetap harus dibayar (ToP), dan impactnya dgn kelebihan pasokan terpaksa bbrp pembangkit PLN harus di-idle-kan. Dan yg kita pahami, kartel/swasta tujuan utamanya adalah bisnis “bgmn mendapat untung sebesar-besarnya”. Dengan kondisi ini bgmn dgn nasib masyarakat banyak nantinya jika harga tidak terkendali terkait dengan eksekusi yang sudah dilakukan, walaupun mungkin memang dari segi hutang berapapun besarnya akan di “take over” oleh Pemerintah. Demikian p Zul, trmksh banyak atas penjelasan dan perkenannya…”

Penulis sebetulnya berharap menunggu jawaban beliau sebagai penulis buku Execution Matters dan Top Level nya PLN untuk mengetahui nurani dan tanggung jawab moral sebagai top level pada salah satu BUMN, namun sayangnya pertanyaan Penulis tidak sempat dibacakan oleh Moderator.

Semoga semua hal tersebut di atas ada solusi terbaik dan secara bijak dirumuskan oleh pimpinan tertinggi di Perusahaan demi kemaslahatan semua pihak “masyarakat, insan Pertamina dan Pemerintah”. Kita “Pekerja” akhirnya hanya bisa berharap adanya itikad baik Perusahaan untuk menunaikan janji yang telah disepakati bersama pada PKB terkait hak-hak pekerja.

Jangan-jangan “noise” tidak kunjung datangnya GI-MI, insentif dan “anu lagi” yang ditunggu oleh banyak Pekerja adalah karena kesibukan, keruwetan dan beban biaya yang cukup memusingkan Manajemen dengan dilakukannya T-H&SH ini hehehe…

Kita doa-kan semoga Pertamina tetap survive & growth dibawah para pemimpin yang amanah, kompeten dan wise serta selalu berbuat dan berpikir untuk memberikan yang terbaik bagi negeri ini dan Pekerja nya. Semoga… (fbs – 4 Juli 2021).

—o0$0o—

# Pemimpin yang bijak sadar waktu miliknya singkat, Dia akan berpikir dan berbuat sedaya upaya untuk menembus ruang dan waktu demi tabungan kehidupan abadi “afterlife” guna mempertahankan kesenangan dan kesempurnaan hidup yang lebih hakiki – fbs

You may also like

1 comment

M. Rosihan Faris September 14, 2021 - 1:53 pm

Salam Pak FBS, terimakasih atas sharing buah pemikiran yang sangat kritis ini.

Mengingat transformasi Holding-Subholding ini sudah terjadi di Legal Endstate 1 September 2021 lalu, dikutip dari Energia weekly no. 37 Tahun LVII yang dipublikasikan pada tanggal 13 September 2021, Management Insight dari Direktur Utama Pertamina “Transformasi yang kita lakukan juga sejalan dengan Global
Energy Transition. Kita harus menjawab tantangan ini dengan
cepat karena Pemerintah Indonesia juga telah memberikan
komitmennya dalam transisi energi melalui Paris Agreement,
bahwa di tahun 2030 akan menurunkan carbon emission
sebesar 29% dan net zero emission di tahun 2060.” Dari yang sama juga disebutkan bahwa 3 Subholding (Upstream, Refining & Petrochemical, dan Commercial & Trading) harus melanjutkan bisnis energi fossil konvensional untuk menjaga ketersediaan kebutuhan BBM nasional selama 9 – 12 tahun kedepan. Diketahui bersama bahwa proyek inisiatif RDMP yang saat ini sedang berjalan belum juga sampai pada fase mulai beroperasi. Apabila dalam jangka waktu tersisa menuju tahun 2050 untuk mencapai target net zero emission Indonesia belum tercapai, sementara proyeksi dari mega proyek RDMP tersebut justru akan berpotensi menambah produksi dari produk BBM di Indonesia yang artinya berdampak pada penambahan emisi karbon di Indonesia? Bagaimana pendapat Bapak terkait resiko ketidakselarasan visi Pemerintah dengan Perusahaan ini?

Reply

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: